Mungkin saja, meski masuk kategori perkawinan aneh. Bisa dipastikan ada pengalaman traumatis yang membuatnya sedemikian tertekan. Perlu kesabaran ekstra untuk mengatasinya.
“Dok, saya mesti bersikap bagaimana, ya, menghadapi suami?” keluh seorang wanita muda. Dari penuturannya terungkap bahwa meski perkawinannya sudah berlangsung lebih dari setahun, boleh dibilang ia masih utuh lantaran tak pernah disentuh suaminya. “Terus terang saya nelangsa, Dok,” keluhnya memelas. Setiap kali ia belingsatan mempertanyakan hal yang dirasakannya amat mengganggu tadi, si suami dengan enteng menjawab, “Perkawinan, kan, enggak identik dengan seks. Yang lebih penting justru kedekatan emosional kita sebagai suami istri.” Nah, runyam, kan?
Menurut Prof. Dr. H. Ayub Sani Ibrahim, Sp.KJ., kasus-kasus seperti itu bukan sebatas dongeng, kok. “Benar-benar ada, lo! Yang jelas, perkawinan macam itu tergolong aneh,” ujar psikiater dan konsultan psikoterapis di RS Pondok Indah, Jakarta ini. Ia sendiri pernah beberapa kali menangani kasus serupa. Bedanya, kliennya seorang pria dan si istrilah yang bertahan tak mau disentuh.Padahal, tutur si suami, “Sebagai laki-laki normal, salah satu tujuan saya kawin, kan, karena pengin merasakan yang satu itu, Dok.”
Konyolnya, ketika dipertanyakan kenapa saat itu yang bersangkutan bersedia menikah, jawaban yang didapat pun terkesan seadanya. “Enggak tahu, ya. Tiba-tiba saja waktu itu terlintas saya mau resmi jadi istrinya setelah sekian lama kami pacaran.” Sementara dari pembicaraan panjang lebar pun tak terungkap ada motivasi tertentu yang memberatkan perkawinan mereka. Semisal desakan orang tua,dikejar umur, atau bentuk keterpaksaan lain.
ASPEK PENTING
Aspek seksual, jelas Ayub, akan selalu hadir alias tak bisa dipisahkan dari kehidupan perkawinan. Bahkan, dalam ikatan perkawinan, ia boleh dibilang menempati tempat nomor satu.”Bukankah tujuan utama suami istri membentuk keluarga adalah reproduksi alias punya anak yang lazimnyabisa terwujud lewat hubungan seks,selain sebagai sarana kesenangan atau memperoleh kenikmatan? Lalu kalau tak mendapat kenikmatan seks, buat apa dia kawin? Jadi, menurut saya, impossible, deh perkawinan tanpa seks!”
Ayub pun menyangsikan kemungkinan hubungan suami-istri yang hanya sebatas hubungan emosional tanpa melibatkan aspek seksual. “Soalnya, saat suami memeluk erat atau menciumi istrinya dengan penuh cinta, begitu juga sebaliknya, apakah bisa dijamin pasangannya tak terbangkitkan gairah seksualnya?” Padahal, lanjutnya, aspek seksual merupakan salah satu yang terpenting dalam perkawinan.
Ekstremnya, lanjut Ayub, kalau tak bisa membahagiakan orang lain, dalam hal ini pasangan, kenapa mesti kawin? Kalaupun karena alasan dijodohkan, misal, mengapa tak kawin lari saja? “Jadi, jangan malah menyiksa diri sekaligus menyiksa pasangan dengan sikap aneh semacam itu,” tegasnya.
IBARAT TEPUK TANGAN
Menanganinya, tegas Ayub, jelas mesti melibatkan kedua belah pihak yang terlibat. “Jadi, jangan cuma si suami atau si istri yang kebetulan menjadi ‘korban’ datang sendirian mencari pertolongan ke psikiater. Soalnya, ini, kan bisa diibaratkan dengan bertepuk tangan. Kalau cuma sebelah tangan, tak akan pernah bunyi.Padahal tujuan kita bertepuk justru supaya berbunyi dan bisa terdengar orang lain.”
Itu sebabnya, mereka yang mengalami masalah seperti ini sangat disarankan untuk mendatangi konselor perkawinan yang umumnya berprofesi sebagai psikiater atau psikolog danposisinya tak berpihak. Kerahasiaan pun terjamin. Yang jelas,yang bersangkutan pun harus sadar,ada sesuatu yang tak beres dalam kehidupan perkawinan mereka sebagai bekal ke konselor.
Memang, sebetulnya jika kedua belah pihak sama-sama dewasa, masalah ini bisa dicarikan jalan keluarnya.Tapi, karena sama-sama tak dewasa, maka masalah lantas muncul. Dewasa dalam arti keduanya sama-sama siap memasuki perkawinan. Termasuk siap menjalani salah satu konsekuensinya berupa hubungan suami-istri tadi. Jangan sampai yang satu kelewat bergantung sementara yang lain justru bersikap defense yang sama-sama menunjukkan ketidakdewasaan.
Sulitnya, lanjut Kepala Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, mustahil suami/istri memaksa pasangannya melakukan hubungan intim kendati mereka sudah terikat resmi.Karena semakin dipaksa, justru masalahnya kian pelik dan makin sulit terselesaikan. “Tak ada cara lain kecuali minta bantuan profesional. Dalam hal ini, ahli yang mendalami bidang psikiatri.”
Alasannya, menceritakan ke sanak keluarga atau kerabat bukan tak mungkin malah akan memperkeruh suasana. Demikian juga bersikap jengkel/marah yang merupakan akumulasi perasaan nelangsa menghadapi pasangan yang tak bergeming dalam urusan seks,sama sekali tak akan menyelesaikan masalah. Sama halnya dengan mendiamkan masalah hingga berlarut-larut dan kian kusut.
Jika Sudah Pisah Ranjang
Tentu persoalannya akan lain jika pasangan sudah memutuskan pisah ranjang. “Wajar saja kalau hubungan mereka tanpa diwarnai aspek seksual,” bilang Ayub. Hanya saja, lanjutnya, kalau di antara mereka memang sudah tak ada sedikit pun rasa cinta, mengapa harus dipertahankan? “Lebih bagus bercerai, kok, dan jangan pernah mendasarkan diri pada pertimbangan demi anak atau demi apa pun untuk mempertahankan perkawinan semacam itu.”
Sebaliknya, kalau keduanya masih memiliki rasa cinta, meskipun kecil, berusahalah untuk memupuk perasaan cinta itu meski dirasa teramat berat. Soalnya, lanjut Ayub, mempertahankan perkawinan yang sudah tak sehat semacam itu hanya akan membuat anak-anak bingung. “Proses pencarian identitas diri mereka bisa kacau.”
Kenali Penyebabnya
Sejauh ini, jelas Ayub,lebih didominasi oleh trauma psikis. Misal, kekasaran yang pernah dialami dan membuatnya bersikap anti terhadap lawan jenis. Sementara aspek fisik boleh dibilang nyaris tak ada atau sangat jarang. “Kalaupun ada, paling-paling akibat bau mulut atau bau badan yang sangat mengganggu.”
Kecuali kelainan-kelainan tertentu semisal ukuran penis kelewat kecil yang membuat suami malu sekaligus terlalu khawatir tak bisa membahagiakan istrinya. Sementara si istri pun memandang kelainan tersebut sebagai sesuatu yang aneh karenaselama ini ia memperoleh gambaran bahwa penis pria dewasa itu besar.
Pengalaman traumatik seputar kehidupan suami-istri itu sendiri juga kerap menjadi penyulut munculnya kelainan semacam ini. Salah satunya, gaya tembak langsung tanpa basa-basi maupun pemanasan yang memadai. Misal, kasus seorang istri yang selalu lari terbirit-birit ke kamar mandi karena ingin BAK tiap kali suaminya menunjukkan tanda-tanda menghendaki keintiman. Bahkan, tiap malam ia merasa perlu membawa pispot ke kamar tidur. Usut punya usut,rupanya mantan suaminya terbiasa bersikap kasar. Nah, dari pengalaman tersebut ia kemudian belajar menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan selalu ingin BAK tadi.
Sementara latar belakang pendidikan dalam keluarga yang menabukan seks karena dianggap kotor, contohnya, bisa juga menjadi penyebab. Meski umumnya, dampaknya tak sebegitu parah seperti yang ditimbulkan pengalaman traumatis. Sebab, lanjut Ayub, seiring bertambahnya usia dan wawasan yang bersangkutan, biasanya pendidikan yang tak “proporsional” tadi akan terkikis dengan sendirinya.
Begitu juga dengan adat/kebiasaan setempat yang menjodoh-jodohkan suami-istri. Perkawinan semacam ini, ujar Ayub, kalaupun dirasa jadi hambatan bagi kedua belah pihak, umumnya hanya bersifat temporer. Dalam arti, cuma berlangsung beberapa bulan pertama. Selebihnya, yang bersangkutan sudah mulai bisa melupakan mantan kekasihnya dan mengalihkan perhatian/kasih sayangnya pada suami/istrinya. Meski bukan tak mungkin saat mereka berhubungan intim, si istri/suami masih terbayang-bayang oleh kebersamaannya dengan mantan kekasihnya. Hanya saja, pesan Ayub, apa pun alasan yang melandasi sebuah perkawinan tetap harus diupayakan kesetiaan di antara suami istri.
Ditangani Secara Psikoterapis
Pasangan yang menghadapi masalah demikian, papar Ayub, biasanya akan ditangani secara psikoterapis. Lewat terapi semacam ini diharapkan masalah-masalah ketidaksadaran yang dialaminya akan terangkat. Tentu saja perlu ketelatenan dan keleluasan waktu mengingat terapi ini umumnya tak bisa diselesaikan dalam 2-3 kali pertemuan.
Misal, berdasar hasil omong-omong, ternyata bisa diungkap masalah/pengalaman traumatik yang pernah menimpa si istri. Rupanya, sewaktu berumur 6-7 tahun, pamannya yang tinggal serumah dengannya pernah berusaha menidurinya. Meski tak sampai berakhir pada hubungan kelamin, sebagai bocah cilik ia begitu ketakutan kalau-kalau pengalaman seperti itu terulang lagi. Sebab, sebagai gadis polos yang belum paham seluk beluk persetubuhan, ia begitu takut kalau-kalau bekapan pamannya yang begitu kuat akan membuatnya mati kehabisan napas. Baginya, itu sungguh pengalaman traumatis. Hingga ia selalu berpikir kalau mengalami kejadian seperti itu, dia akan mati kehabisan napas sementara dia tak ingin mati.
Nah, dengan psikoterapi diharapkan pengalaman traumatis tadi bisa berkurang. Ketidaksadarannya bisa diungkap dan langkah ini jelas bisa meringankan, terlebih bila masalah-masalah unconscious tadi begitu menyeramkan. Tak heran jika pengalaman-pengalaman tersebut direpresi/ditekan ke dalam alam tak sadar. Dalam bayangannya, terjadinya hubungan suami istri tak ubahnya dengan pengalaman traumatis yang begitu menakutkan. Kendati kejadiannya hanya berlangsung sekali itu saja, namun begitu membekas.
Secara perlahan, tutur Ayub, yang bersangkutan diarahkan untuk memposisikan dirinya bukan lagi sebagai anak kecil yang tak berdaya menghadapi bekapan pamannya. Melainkan sebagai wanita dewasa yang saling membutuhkan kehangatan cinta bersama sang suami. Jika dianggap perlu, kepadanya juga diberikan obat penenang untuk membantunya menenangkan diri.
Sementara kepada suami dinasehatkan untuk berpanjang sabar,lebih mampu bersikap penuh perhatian, berupaya memahami masalahpasangan, sekaligus menihilkan perselisihan yang bersumber dari masalah tersebut. Termasuk kesediaan menyiapkan waktu lebih lama agar foreplay lebih berkualitas dibanding pasangan lain.
Dengan kata lain, anjur Ayub, upayakan jangan sampai suami mempertahankan gaya main tembak langsung yang hanya akan menimbulkan persoalan baru atau malah membuat masalah kian bertumpuk.
Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 161