Archive | 8:28 am

PERKAWINAN TANPA SEKS, MUNGKINKAH?

29 Feb


Mungkin saja, meski masuk kategori perkawinan aneh. Bisa dipastikan ada pengalaman traumatis yang membuatnya sedemikian tertekan. Perlu kesabaran ekstra untuk mengatasinya.

“Dok, saya mesti bersikap bagaimana, ya, menghadapi suami?” keluh seorang wanita muda. Dari penuturannya terungkap bahwa meski perkawinannya sudah berlangsung lebih dari setahun, boleh dibilang ia masih utuh lantaran tak pernah disentuh suaminya. “Terus terang saya nelangsa, Dok,” keluhnya memelas. Setiap kali ia belingsatan mempertanyakan hal yang dirasakannya amat mengganggu tadi, si suami dengan enteng menjawab, “Perkawinan, kan, enggak identik dengan seks. Yang lebih penting justru kedekatan emosional kita sebagai suami istri.” Nah, runyam, kan?

Menurut Prof. Dr. H. Ayub Sani Ibrahim, Sp.KJ., kasus-kasus seperti itu bukan sebatas dongeng, kok. “Benar-benar ada, lo! Yang jelas, perkawinan macam itu tergolong aneh,” ujar psikiater dan konsultan psikoterapis di RS Pondok Indah, Jakarta ini. Ia sendiri pernah beberapa kali menangani kasus serupa. Bedanya, kliennya seorang pria dan si istrilah yang bertahan tak mau disentuh.Padahal, tutur si suami, “Sebagai laki-laki normal, salah satu tujuan saya kawin, kan, karena pengin merasakan yang satu itu, Dok.”

Konyolnya, ketika dipertanyakan kenapa saat itu yang bersangkutan bersedia menikah, jawaban yang didapat pun terkesan seadanya. “Enggak tahu, ya. Tiba-tiba saja waktu itu terlintas saya mau resmi jadi istrinya setelah sekian lama kami pacaran.” Sementara dari pembicaraan panjang lebar pun tak terungkap ada motivasi tertentu yang memberatkan perkawinan mereka. Semisal desakan orang tua,dikejar umur, atau bentuk keterpaksaan lain.

ASPEK PENTING

Aspek seksual, jelas Ayub, akan selalu hadir alias tak bisa dipisahkan dari kehidupan perkawinan. Bahkan, dalam ikatan perkawinan, ia boleh dibilang menempati tempat nomor satu.”Bukankah tujuan utama suami istri membentuk keluarga adalah reproduksi alias punya anak yang lazimnyabisa terwujud lewat hubungan seks,selain sebagai sarana kesenangan atau memperoleh kenikmatan? Lalu kalau tak mendapat kenikmatan seks, buat apa dia kawin? Jadi, menurut saya, impossible, deh perkawinan tanpa seks!”

Ayub pun menyangsikan kemungkinan hubungan suami-istri yang hanya sebatas hubungan emosional tanpa melibatkan aspek seksual. “Soalnya, saat suami memeluk erat atau menciumi istrinya dengan penuh cinta, begitu juga sebaliknya, apakah bisa dijamin pasangannya tak terbangkitkan gairah seksualnya?” Padahal, lanjutnya, aspek seksual merupakan salah satu yang terpenting dalam perkawinan.

Ekstremnya, lanjut Ayub, kalau tak bisa membahagiakan orang lain, dalam hal ini pasangan, kenapa mesti kawin? Kalaupun karena alasan dijodohkan, misal, mengapa tak kawin lari saja? “Jadi, jangan malah menyiksa diri sekaligus menyiksa pasangan dengan sikap aneh semacam itu,” tegasnya.

IBARAT TEPUK TANGAN

Menanganinya, tegas Ayub, jelas mesti melibatkan kedua belah pihak yang terlibat. “Jadi, jangan cuma si suami atau si istri yang kebetulan menjadi ‘korban’ datang sendirian mencari pertolongan ke psikiater. Soalnya, ini, kan bisa diibaratkan dengan bertepuk tangan. Kalau cuma sebelah tangan, tak akan pernah bunyi.Padahal tujuan kita bertepuk justru supaya berbunyi dan bisa terdengar orang lain.”

Itu sebabnya, mereka yang mengalami masalah seperti ini sangat disarankan untuk mendatangi konselor perkawinan yang umumnya berprofesi sebagai psikiater atau psikolog danposisinya tak berpihak. Kerahasiaan pun terjamin. Yang jelas,yang bersangkutan pun harus sadar,ada sesuatu yang tak beres dalam kehidupan perkawinan mereka sebagai bekal ke konselor.

Memang, sebetulnya jika kedua belah pihak sama-sama dewasa, masalah ini bisa dicarikan jalan keluarnya.Tapi, karena sama-sama tak dewasa, maka masalah lantas muncul. Dewasa dalam arti keduanya sama-sama siap memasuki perkawinan. Termasuk siap menjalani salah satu konsekuensinya berupa hubungan suami-istri tadi. Jangan sampai yang satu kelewat bergantung sementara yang lain justru bersikap defense yang sama-sama menunjukkan ketidakdewasaan.

Sulitnya, lanjut Kepala Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, mustahil suami/istri memaksa pasangannya melakukan hubungan intim kendati mereka sudah terikat resmi.Karena semakin dipaksa, justru masalahnya kian pelik dan makin sulit terselesaikan. “Tak ada cara lain kecuali minta bantuan profesional. Dalam hal ini, ahli yang mendalami bidang psikiatri.”

Alasannya, menceritakan ke sanak keluarga atau kerabat bukan tak mungkin malah akan memperkeruh suasana. Demikian juga bersikap jengkel/marah yang merupakan akumulasi perasaan nelangsa menghadapi pasangan yang tak bergeming dalam urusan seks,sama sekali tak akan menyelesaikan masalah. Sama halnya dengan mendiamkan masalah hingga berlarut-larut dan kian kusut.

Jika Sudah Pisah Ranjang

Tentu persoalannya akan lain jika pasangan sudah memutuskan pisah ranjang. “Wajar saja kalau hubungan mereka tanpa diwarnai aspek seksual,” bilang Ayub. Hanya saja, lanjutnya, kalau di antara mereka memang sudah tak ada sedikit pun rasa cinta, mengapa harus dipertahankan? “Lebih bagus bercerai, kok, dan jangan pernah mendasarkan diri pada pertimbangan demi anak atau demi apa pun untuk mempertahankan perkawinan semacam itu.”

Sebaliknya, kalau keduanya masih memiliki rasa cinta, meskipun kecil, berusahalah untuk memupuk perasaan cinta itu meski dirasa teramat berat. Soalnya, lanjut Ayub, mempertahankan perkawinan yang sudah tak sehat semacam itu hanya akan membuat anak-anak bingung. “Proses pencarian identitas diri mereka bisa kacau.”

Kenali Penyebabnya

Sejauh ini, jelas Ayub,lebih didominasi oleh trauma psikis. Misal, kekasaran yang pernah dialami dan membuatnya bersikap anti terhadap lawan jenis. Sementara aspek fisik boleh dibilang nyaris tak ada atau sangat jarang. “Kalaupun ada, paling-paling akibat bau mulut atau bau badan yang sangat mengganggu.”

Kecuali kelainan-kelainan tertentu semisal ukuran penis kelewat kecil yang membuat suami malu sekaligus terlalu khawatir tak bisa membahagiakan istrinya. Sementara si istri pun memandang kelainan tersebut sebagai sesuatu yang aneh karenaselama ini ia memperoleh gambaran bahwa penis pria dewasa itu besar.

Pengalaman traumatik seputar kehidupan suami-istri itu sendiri juga kerap menjadi penyulut munculnya kelainan semacam ini. Salah satunya, gaya tembak langsung tanpa basa-basi maupun pemanasan yang memadai. Misal, kasus seorang istri yang selalu lari terbirit-birit ke kamar mandi karena ingin BAK tiap kali suaminya menunjukkan tanda-tanda menghendaki keintiman. Bahkan, tiap malam ia merasa perlu membawa pispot ke kamar tidur. Usut punya usut,rupanya mantan suaminya terbiasa bersikap kasar. Nah, dari pengalaman tersebut ia kemudian belajar menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan selalu ingin BAK tadi.

Sementara latar belakang pendidikan dalam keluarga yang menabukan seks karena dianggap kotor, contohnya, bisa juga menjadi penyebab. Meski umumnya, dampaknya tak sebegitu parah seperti yang ditimbulkan pengalaman traumatis. Sebab, lanjut Ayub, seiring bertambahnya usia dan wawasan yang bersangkutan, biasanya pendidikan yang tak “proporsional” tadi akan terkikis dengan sendirinya.

Begitu juga dengan adat/kebiasaan setempat yang menjodoh-jodohkan suami-istri. Perkawinan semacam ini, ujar Ayub, kalaupun dirasa jadi hambatan bagi kedua belah pihak, umumnya hanya bersifat temporer. Dalam arti, cuma berlangsung beberapa bulan pertama. Selebihnya, yang bersangkutan sudah mulai bisa melupakan mantan kekasihnya dan mengalihkan perhatian/kasih sayangnya pada suami/istrinya. Meski bukan tak mungkin saat mereka berhubungan intim, si istri/suami masih terbayang-bayang oleh kebersamaannya dengan mantan kekasihnya. Hanya saja, pesan Ayub, apa pun alasan yang melandasi sebuah perkawinan tetap harus diupayakan kesetiaan di antara suami istri.

Ditangani Secara Psikoterapis

Pasangan yang menghadapi masalah demikian, papar Ayub, biasanya akan ditangani secara psikoterapis. Lewat terapi semacam ini diharapkan masalah-masalah ketidaksadaran yang dialaminya akan terangkat. Tentu saja perlu ketelatenan dan keleluasan waktu mengingat terapi ini umumnya tak bisa diselesaikan dalam 2-3 kali pertemuan.

Misal, berdasar hasil omong-omong, ternyata bisa diungkap masalah/pengalaman traumatik yang pernah menimpa si istri. Rupanya, sewaktu berumur 6-7 tahun, pamannya yang tinggal serumah dengannya pernah berusaha menidurinya. Meski tak sampai berakhir pada hubungan kelamin, sebagai bocah cilik ia begitu ketakutan kalau-kalau pengalaman seperti itu terulang lagi. Sebab, sebagai gadis polos yang belum paham seluk beluk persetubuhan, ia begitu takut kalau-kalau bekapan pamannya yang begitu kuat akan membuatnya mati kehabisan napas. Baginya, itu sungguh pengalaman traumatis. Hingga ia selalu berpikir kalau mengalami kejadian seperti itu, dia akan mati kehabisan napas sementara dia tak ingin mati.

Nah, dengan psikoterapi diharapkan pengalaman traumatis tadi bisa berkurang. Ketidaksadarannya bisa diungkap dan langkah ini jelas bisa meringankan, terlebih bila masalah-masalah unconscious tadi begitu menyeramkan. Tak heran jika pengalaman-pengalaman tersebut direpresi/ditekan ke dalam alam tak sadar. Dalam bayangannya, terjadinya hubungan suami istri tak ubahnya dengan pengalaman traumatis yang begitu menakutkan. Kendati kejadiannya hanya berlangsung sekali itu saja, namun begitu membekas.

Secara perlahan, tutur Ayub, yang bersangkutan diarahkan untuk memposisikan dirinya bukan lagi sebagai anak kecil yang tak berdaya menghadapi bekapan pamannya. Melainkan sebagai wanita dewasa yang saling membutuhkan kehangatan cinta bersama sang suami. Jika dianggap perlu, kepadanya juga diberikan obat penenang untuk membantunya menenangkan diri.

Sementara kepada suami dinasehatkan untuk berpanjang sabar,lebih mampu bersikap penuh perhatian, berupaya memahami masalahpasangan, sekaligus menihilkan perselisihan yang bersumber dari masalah tersebut. Termasuk kesediaan menyiapkan waktu lebih lama agar foreplay lebih berkualitas dibanding pasangan lain.

Dengan kata lain, anjur Ayub, upayakan jangan sampai suami mempertahankan gaya main tembak langsung yang hanya akan menimbulkan persoalan baru atau malah membuat masalah kian bertumpuk.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 161

EJAKULASI GAGAL GARA-GARA GANGGUAN PROSTAT

29 Feb

Gangguan yang satu ini bukan cuma monopoli pria paruh baya. Jangan pula buru-buru dioperasi bila tak ada indikasi kuat. Bisa “celaka”, lo.Gangguan kelenjar prostat, apa pun jenisnya, jelas Rainy Umbas, MD, Ph.D., mau tak mau terkait dengan harga diri pria. Sebab, bagian dari saluran kencing ini hanya ditemui pada kaum Adam dan istimewanya, sudah ada sejak yang bersangkutan lahir tanpa perlu menunggu datangnya masa akil-balik serta akan terus bertahan sepanjang hayat.

Berdasarkan fungsinya, kata urolog ini, kelenjar prostat diperlukan untuk mengeluarkan cairan khusus yang berguna melindungi sperma agar tetap hidup di dalam cairan tersebut. Juga agar sperma bisa berbentuk cairan supaya bisa dikeluarkan dari tubuh.

TIGA JENIS GANGGUAN

Nah, untuk menunjang pertumbuhan kelenjar prostat, diperlukan hormon-hormon androgen, terutama hormon testosteron. Alhasil, jika buah zakar rusak entah karena kecelakaan atau sebab lain, bisa-bisa tamat pula “riwayat” sebagai laki-laki. “Berarti hormon-hormon androgen tak lagi bisa diproduksi. Imbasnya, fungsi kelenjar prostat secara keseluruhan pun jadi terganggu. Dengan kata lain kehidupan seksualnya juga pasti bakal terpengaruh,” jelas Umbas.

Pada kasus-kasus infeksi, contohnya, “Munculnya ketidaknyamanan saat BAK, secara psikologis, kan, akan membuat orang risih dan akhirnya malas berhubungan intim. Setidaknya, merasa tak enak hati atau malah malu pada istri bila harus mondar-mandir ke kamar mandi, hingga sama sekali tak bisa menikmati hubungan.” Belum lagi hambatan fisik berupa munculnya perasaan ngilu saat ejakulasi. “Secara tak langsung, gangguan prostat memang potensial menurunkan libido.”

Gangguan kelenjar prostat dibedakan menjadi tiga. Yakni infeksi prostat yang biasanya terjadi pada usia dewasa muda antara 20 hingga 40 tahunan, pembesaran prostat jinak yang terjadi di usia 50 tahun atau lebih, serta kanker prostat yang biasanya muncul di usia 60 tahun ke atas.

Jadi, semakin bertambah usia seseorang, makin beragam dan kian tinggi pula peluangnya mengalami gangguan prostat. Kendati bisa saja gangguan ini muncul di usia muda.

Menurut ahli kanker urologi dari Bagian Urologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ini, masing-masing gangguan tadi ternyata berdiri sendiri alias tidak saling berhubungan satu sama lain. Dalam arti, seseorang yang mengalami infeksi prostat belum tentu akan berlanjut menjadi pembesaran prostat, bahkan keganasan/kanker.

POLA HIDUP TAK SEHAT

Gangguan prostat, lanjut Umbas, umumnya muncul akibat ulah kuman dari tubuh. Entah kuman yang berasal dari saluran kencing, saluran pencernaan, atau kulit. “Di beberapa bagian tubuh memang ada kuman-kuman tertentu yang hidup tanpa menimbulkan gejala maupun gangguan alias apatogen. Selain karena jumlahnya senantiasa ‘seimbang’, sementara tubuh memiliki sistem kekebalan tersendiri yang bisa mengalahkan kuman bila suatu saat dianggap perlu.”

Akan tetapi, lanjutnya, ada beberapa hal yang dikategorikan sebagai faktor risiko. Di antaranya, menurunnya kondisi tubuh akibat gangguan diare yang berat, stres berkepanjangan, dan kebiasaan hidup tak sehat seperti kebiasaan begadang yang menyebabkan kurang tidur, minum minuman beralkohol tinggi, terlalu banyak mengkonsumsi lemak atau makanan kelewat pedas. Dalam kondisi-kondisi seperti itulah kekebalan tubuh menurun karena berubahnya kuman apatogen tadi menjadi patogen.

Sedangkan faktor risiko terjadinya pembesaran maupun keganasan prostat sangat terkait dengan usia dan kondisi hormonal. “Kalau kondisi hormonalnya normal, peluang munculnya gangguan pembesaran maupun keganasan, relatif kecil.” Sayangnya, keseimbangan hormonal ini kerap dikacaukan dengan kebiasaan mengkonsumsi obat-obat hormonal yang diyakini bisa membuat tubuh tetap fit dan bikin awet muda secara tak terkontrol.

Karena itulah, tegas Umbas,”Jangan sembarangan mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung hormon androgen karena dikhawatirkan bisa mempercepat pembesaran prostat jinak maupun ganas.”

MESTI KENYAL

Kata Umbas, ketiga jenis gangguan prostat tadi biasanya menunjukkan gejala yang nyaris sama, yakni kencing terganggu. Seperti pancaran kencing yang melemah, padahal biasanya muncrat jauh, tak lancar, dan tak bisa terlampiaskan habis karena sebentar-sebentar terhenti dan serasa masih bersisa. Penderita pun merasa terganggu karena bolak-balik ingin BAK.

Untuk memastikan apakah keluhan-keluhan tadi merupakan gejala infeksi prostat, biasanya dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan. Di antaranya perabaan prostat melalui colok dubur, di samping pemeriksaan laboratorium untuk menguji kandungan kuman dalam air kencing.”Pada mereka yang mengalami infeksi prostat, biasanya prostatnya teraba lembek, selain keluhan nyeri. Padahal normalnya, harusnya terasa kenyal dan tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali.”

Selain itu, saran Umbas, jangan pernah sepelekan infeksi ataupun peradangan yang terjadi. Sebab, infeksi atau peradangan semisal radang tenggorokan yang tidak tertangani secara tuntas, bisa berakibat fatal. Terutama bila kuman penyebab infeksi/peradangan tersebut ikut menyebar melalui aliran darah.

Meski infeksi-infeksi lain biasanya termanifestasi lewat demam tinggi, infeksi prostat jarang menimbulkan keluhan demam. Tak heran kalau pasien umumnya baru datang 3 bulan kemudian. Itu pun lebih karena dorongan ketidaknyamanan yang amat mengganggu.

LEWAT DUBUR & BIOPSI

Gangguan berikut adalah pembesaran jinak dan kanker ganas yang gejala awalnya relatif sama dengan infeksi prostat. Pemeriksaan awal yang paling bisa diandalkan untuk memastikan adalah perabaan. “Kalau teraba keras, perlu dicurigai adanya keganasan.”

Tentu saja untuk memastikannya, diperlukan pemeriksaan darah. Dari situ bisa terbaca adanya pertanda tumor berupa PSA/Prostat Specifik Antigen yang bisa membantu ahli mengarahkan diagnosa. Atau dengan pemeriksaan patologi yang sampelnya dapat diambil melalui dubur. Caranya, dengan bantuan USG yang dimasukkan lewat dubur bisa terlihat gambaran prostatnya.

Sementara biopsi, kata Umbas, baru dilakukan kalau hasil yang didapat mencurigakan. Dikatakan normal jika dari perabaan tak menunjukkan keganasan sementara angka dari pemeriksaan PSA pun memperlihatkan kisaran normal, hingga biopsi tidak diperlukan. Sebaliknya, bila nilainya melebihi kisaran batas normal, sementara dari perabaan diduga jinak, biopsi tetap harus dilakukan karena amat dicurigai adanya keganasan. Sedangkan yang nilainya berada di antara batas minimal dan maksimal, akan ada semacam tes untuk melihat kesesuaian ukuran prostat.

AMATI PANCARAN

Berbeda dengan kondisi sekitar 30 tahun lalu yang hanya memungkinkan operasi, terang Umbas, kini tersedia beragam pilihan pengobatan. “Memang, saran-saran yang diberikan biasanya terpulang pada keluhan/gejala yang muncul dan hasil pemeriksaan yang didapat.” Di antaranya pemeriksaan untuk mengukur seberapa cepat aliran BAK-nya. Dalam arti, apakah masih bisa memancar, sudah betul-betul tersendat, atau malah mampat sama sekali. Semakin lemah pancaran BAK-nya, tentu makin parah gangguannya. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan dengan menghitung berapa banyak sisa kencing yang tertahan.

Untuk yang gangguannya ringan, cukup dengan pemberian obat-obatan untuk mengurangi keluhannya. Hanya saja berbeda dengan obat-obat anti peradangan/infeksi yang umumnya diberikan untuk 3 atau 5-7 hari pemakaian, obat-obatan untuk mengatasi gangguan prostat diberikan minimal 4-8 minggu yang akan terus dipantau untuk termin waktu berikutnya. Bila dinilai masih diperlukan, obat-obatan antibiotika tersebut masih terus digunakan. Pasien tak perlu khawatir obat-obatan ini bakal memperburuk kemampuan seksualnya.

Sedangkan operasi, baik terbuka maupun TUR-P (Trans-Urethral Resection of Prostat)dijadikan pilihan jika gejalanya sudah berat, semisal retensi alias tidak bisa kencing sama sekali. Atau bila ada batu di dalam kandung kencing maupun kelainan pada buli-bulinya. Sayangnya, ukuran prostat agak sulit dijadikan patokan karena belum tentu yang prostatnya besar, keluhannya lebih berat.

Pikir Matang Sebelum Operasi

Jika memangoperasi dijadikan pilihan terakhir, jelas Umbas,tak lain karena dampak kurang menguntungkan yang ditimbulkannya. “Soalnya, tindakan operasi jelas berpengaruh pada kehidupan seksual seseorang. Di atas kertas, sekitar 20 persen di antaranya akan mengalami impotensi.” Karena itulah penderita sebaiknya betul-betul berpikirsecara matang. Terlebih bila usianya masih relatif muda dan kehidupan seksualnya masih aktif. “Lain soal kalau sudah ada indikasi mutlak dan tak ada pilihan lain, ya, apa boleh buat.”

Risiko lain yang juga mungkin terjadi adalah retrograted ejaculation. Yakni ejakulasi yang air maninya tak memancar keluar, melainkan berbalik masuk ke kandung kemih dan bercampur dengan BAK, serta dikeluarkan bersamaan dengan air kencing. Mengingat ejakulasitak bisa berlangsung secara alamiah, maka bila yang bersangkutan membutuhkan spermanya untuk pembuahan, sperma tersebut harus diambil langsung dari testis lewat suntikan atau sejenisnya. “Kehidupan seksual yang bersangkutan jelas terganggu, ” ujar Umbas

Di sisi lain,pada kasus-kasus semacam ini bisa saja penderita tidak mengalami gangguan ereksi. Artinya,spermanya masih tetap mengandung spermatozoa, namun tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk membuahi karena di lingkungan yang berbeda kemungkinan besar sel-sel spermanya sudah mati/rusak. Alhasil, fungsi fertilitasnya terganggu.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 159

PRIA JUGA BISA ORGASME BERULANG KALI

29 Feb


Siapa bilang multiple orgasm hanya monopoli pihak istri? Suami juga bisa, kok. Asalkan tubuh tak loyo, selain mampu mengontrol emosi, konsentrasi, dan otot-otot panggul.

Boro-boro bisa berulang kali, sekali aja udah hebat,” begitu tanggapan yang kerap dilontarkan orang soal orgasme. Pasalnya, terang Dr. Ferryal Loetan, Sp.RM, MMR, untuk bisa mencapai orgasme yang merupakan puncak kepuasan berintim-intim, memang bukan soal mudah. Sementara seseorang dikatakan mencapai orgasme berulang bila dalam satu periode ia mencapai puncak kenikmatan lebih dari satu kali. Tak heran bila buat banyak orang, terutama mereka yang mengalami gangguan, multiple orgasm atau orgasme berulang kali boleh jadi cuma sebatas angan-angan.

Padahal, tegas seksolog ini, orgasme berulang bisa dicapai baik oleh pria maupun wanita. “Hanya saja wanita jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pria. Begitu juga frekuensinya.” Artinya, hanya segelintir pria yang bisa mengalami orgasme berulang kali. Mereka ini biasanya sudah memiliki jam terbang tinggi alias sudah berpengalaman.

Sebab, setiap kali orgasme, pria akan mengalami ejakulasi alias keluarnya air mani. “Sementara untuk mempertahankan ejakulasi, enggak gampang, lo. Selain perlu pengalaman, dia harus bisa memusatkan konsentrasi, disamping kemampuan mengontrol emosi. Artinya, mampu bersikap tenang, sabar alias enggak terburu nafsu. Begitu pula soal kecakapan melatih kontraksi otot-otot dasar panggul.”

Yang jelas, yang sudah pengalaman pun tidak bisa dipastikan bakal selalu mencapai orgasme berulang. “Pada dasarnya, egoisme laki-laki tinggi. Ia cenderung ingin memuaskan diri lebih dulu tanpa mikirin pasangan.”

PERLU PERJUANGAN KERAS

Pendek kata, pria mana pun bisa, asalkan mau, sudah dewasa, dan punya pasangan tetap. Karena tanpa istri, yang bersangkutan jelas tak mungkin melampiaskan dorongan seksualnya sekaligus memperoleh pengalaman berharga. Pasalnya, bila dilakukan dengan pasangan tidak tetap semata-mata karena dorongan iseng, sama sekali tak bisa dijadikan patokan karena kondisi emosionalnya sangat labil. Misalnya ia takut ketahuan atau khawatir membuahkan hasil padahal terlarang.

Untuk bisa mencapai orgasme, si pria harus punya kesadaran penuh dan usaha keras atau perjuangan tersendiri. Kendati lelaki lebih mudah terangsang karena alat kelaminnya di luar bukan berarti gampang memperoleh orgasme berulang. Mustahil pula diperoleh dengan sendirinya.

Hingga bisa dibilang, laki-laki yang berhasil mencapai orgasme berulang sebetulnya adalah mereka yang cenderung memperhatikan kepuasan pasangannya. Dengan kata lain, perolehan multiple orgasm tak lain adalah “bonus” dari kerja keras dan pengorbanannya, selain tumbuh kepuasan tersendiri kalau ia bisa membuat pasangannya mencapai kepuasan berulang kali. Paling tidak, ia merasa diri sebagai laki-laki hebat/jantan.

Begitu ejakulasi, pria bersangkutan mau tak mau harus melewati fase resolusi. Energinya seolah terkuras habis sementara libidonya pun menurun, hingga ia membutuhkan istirahat lebih dulu sebelum “maju perang” lagi. Fase resolusi ini berlangsung rata-rata sekitar sejam. “Makin lama makin panjang waktunya seiring dengan bertambahnya usia.” Jika fase tadi sudah dilewati, berarti ia harus memulai periode baru, dengan perangsangan baru lagi, dan seterusnya. Itu sebabnya secara teoritis, begitu ejakulasi, pria akan langsung selesai. Hingga jika ingin orgasme 2 atau 3 kali, yang bersangkutan harus bisa menahan ejakulasinya agar terjadi hanya pada yang terakhir.

LEBIH MUDAH TERANGSANG

Pada wanita, pencapaian ini tidak mengenal batasan waktu mengingat rangenya sangat luas. Ada yang dalam hitungan menit sudah bisa orgasme, tapi ada juga yang butuh waktu berjam-jam untuk mendapatkannya. Penyebabnya bisa karena sensitivitasnya yang sudah berkurang, hingga perlu waktu pemanasan cukup lama. Lalu bagaimana kadar kenikmatan masing-masing orgasme, apakah sama antara yang pertama, kedua dan seterusnya.

Pada wanita, jelas Ferryal, orgasme kedua dan seterusnya justru kian terasa nikmat. Sebabnya, wanita yang dalam keadaan spanning tinggi mau tak mau orgasme cepat terjadi. “Biasanya wanita yang bisa mencapai multiple orgasm adalah yang mudah dirangsang. Dialah yang cepat mencapai puncak kenikmatan pertama, hingga memperoleh orgasme kedua, ketiga, dan seterusnya bisa dengan lebih mudah lagi. Tentu saja asalkan si suami juga mampu bertahan. Kalau tidak, ya, bagaimana caranya si istri mau mendapat kepuasan berlipat ganda?”

Pada wanita tidak dikenal fase pemulihan seperti halnya pada laki-laki. Dengan kata lain, ia tak perlu melalui fase resolusi. Jika rangsangan masih terus berjalan, dorongan seksnya bisa meningkat lagi hingga bisa berakhir dengan orgasme kedua dan seterusnya.

Kalau perangsangan berhenti, jangan harap bisa mendapat orgasme kedua dan ketiga. “Boleh dibilang, peran suami amat besar dalam mengkondisikan si istri mencapai multiple orgasm.”

Menurut Ferryal, orgasme berulang pada wanita bisa didapat sambil lalu. Dalam arti, fisiknya mudah terangsang karena tempat-tempat sensitif di tubuhnya sangat mudah ditemukan. Semisal puting payudaranya sangat sensitif, dan sebagainya. Meski mereka yang berbadan subur bisa jadi tingkat sensitivitas berkurang karena timbunan lemaknya. “Biasanya tempat-tempat sensitifnya lebih sulit ditemukan kendati tidak selalu demikian.”

Lagi-lagi tergantung sensitivitas masing-masing. Belum lagi lokasi sensitivitasnya juga beragam. Ada yang baru dicium lehernya sudah sangat terangsang dan bisa langsung orgasme. Tapi perangsangan sama belum tentu mendatangkan efek yang sama pula pada waktu yang berbeda. Apalagi pada individu yang berbeda.

Kesehatan Mesti Prima

Untuk mendapat orgasme berulang, kata Ferryal, suasana sangat pegang peranan. Yang serba terburu-buru, jelas jadi pantangan. Itu sebabnya harus punya tenggang waktu cukup yang memang dipersiapkan khusus untuk hubungan seksual. “Kalau terburu-buru, mustahil, deh. Paling-paling kejengkelan yang muncul.”

Di sisi lain, kedekatan psikis ikut berperan. Bila sedang emosi, labil, stres tinggi, jelas tak bisa. Kalau sedang jengkel/sebal pada pasangan, ya, jangan harap bisa memperoleh orgasme berulang.

Tentu saja selain syarat-syarat tadi, diperlukan kondisi kesehatan yang prima. “Gimanamau orgasme berulang kalau tubuh letoi?”, contohnya.

Kenali Siklus Haid

Sebetulnya, jelas Ferryal, suami bisa mengenali “grafik” libido istrinya dengan memanfaatkan pengenalan siklus haid. Bukankah gairah seksual seorang wanita berhubungan dengan kehidupan hormonalnya? Dengan kata lain terkait pula dengan siklus menstruasinya. Makanya ada masa-masa tertentu di mana hormon tadi sedang tinggi-tingginya yang membuat bersangkutan sangat mudah terangsang. Semisal menjelang menstruasi dan mendekati masa subur/saat pelepasan telur.

Memang, sih, tak selalu begitu. Bisa saja seorang wanita yang hormonnya sedang tidak tinggi, tapi emosinya sedang bagus, tiba-tiba libidonya meningkat karena bisa dengan mudah merespon rangsangan-rangsangan suaminya. Jadi, yang perlu dijaga adalah kondisi emosional si istri. Kalau suami bisa menjaga agar istrinya tidak bad mood, ia juga yang diuntungkan. Yang juga tak kalah penting adalah kemauan untuk mencari tahu daerah sensitif pasangannya.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 157

MAMPUKAH MUSIK MENGULIK GAIRAH SEKS?

29 Feb


Bisa saja, tapi ada berbagai aspek yang mesti diperhatikan.

Benarkah pendapat yang mengatakan musik jenis tertentu bisa membangkitkan gairah seks? “Tak bisa dipastikan. Yang perlu dilihat justru kualitas hubungan suami-istri yang bersangkutan,” kata terapis musik Monty P. Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, Psi. Maksudnya, rinci Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta ini, kedekatan hubungan mereka secara psikis. “Itu yang lebih ‘bicara’ dibanding kehadiran musik saat mereka tengah berintim-intim.”

Contoh yang paling gampang, kata Monty, saat mengobrol. “Obrolan enggak akannyambung jika di saat yang sama mendengar suara musik keras menghentak-hentak, kan? Bahkan musik klasik sekalipun, kalau disetel keras-keras, ya,jadi saling enggak dengar.”Alhasil, harus dipertanyakan, tujuannya mau mendengarkan musik atau berkomunikasi?

MUSIK TANPA SYAIR

Nah, begitu juga soal musik yang pas untuk berintim-intim. Kalau mau dijadikan musik pengiring alias background music atau musik yang menjadi latar belakang belaka, tentu saja pilihan musiknya harus yang tenang sehingga memberi suasana relaks, nyaman.”Bisa semi klasik, piano solo, jazz, juga musik romantik. Jadi, tak selalu harus musik klasik.”

Sedapat mungkin, saran Monty,pilih musik instrumentalia. Alasannya, “Kita, kan, sedang melakukan hubungan komunikasi. Kalau di saat seperti itu kita dengar musik yang bersyair, maka ada dua jalur verbal yang ditangkap sekaligus oleh fungsi kognitif seseorang. Pertama, ia menangkap stimulus indrawi melalui sensoris pendengaran(auditorial sensory) yang kemudian diteruskannya ke dalam sistem susunan syaraf pusat. Nah, masukan inilah yang diolah kembali, antara lain menggunakan sistem yang dikenal sebagai funelling atau corong. Kalau butir pertama belum masuk, maka butiran pasir berikut belum bisa masuk ke corong karena harus ngantri. Begitu seterusnya.”

Nah, bisa dibayangkan, butiran pertama adalah musik dan butiran kedua syair, sementara butiran berikutnya adalah isi pembicaraannya dengan pasangan. “Ribet, kan, karena akan beradu antara syair, lagu dan omongannya.” Di satu pihak ia mesti mendengar lawan bicaranya, sementara di lain pihak ia perlu menyimak syair lagunya sekaligus menikmati alunan musik itu sendiri.

Alhasil, komunikasi tak bisa berlangsung dengan baik. Selain itu, bila musiknya terlalu keras,gelombang suara pembicara pun harus bisa mengimbangi kerasnya musik. Jadilah akhirnya saling “teriak”. Saat berkomunikasi, lazimnya diharapkan dua pihak yang terlibat menaruh konsentrasi penuh selama komunikasi tersebut berlangsung. Pertimbangannya, yang satu mengirim berita dan yang satu menangkap isi berita. Untuk itu tentunya diperlukan konsentrasi.”Jika musiknya bersyair atau volumenya kelewat keras,pesan komunikasi jadi tak sampai karena konsentrasi yang terganggu.”

TERGANTUNG SELERA

Memang, lanjut Monty, musik bisa bersifat terapeutik. Artinya, bisa dipakai sebagai sarana terapi. Tapi tak semata-mata berarti bisa mempersatukan pasangan yang tengah bermasalah. Konkretnya, bagaimana mungkin hanya dengan mendengarkan musik yang sama orang lantas bisa jadi akrab satu sama lain? Padahal, “Keakraban, terutama kedekatan psikis, tidak ditentukan oleh musik semata, melainkan oleh banyak hal. Terutama kondisi psikologi yang bersangkutan dalam memberi makna terhadap kehadiran suami/istrinya.” Lain halnya jika aktivitas mendengarkan musik menjadi semacam kegiatan tambahan di luar aktivitas berkomunikasi tadi.

Contohnya, pasangan yang dinner sambil mengobrol di ruang sepi dibanding bila aktivitas serupa dilakukan di ruang yang berlatar belakang musik berisik alias hingar bingar. Dalam perbandingan semacam itu, bisa saja musik klasik membantu mengakrabkan hubungan. Pasalnya, dampak yang dimunculkan oleh musik tak lain adalah nuansa.

Sedangkan untuk hal yang paling intim, yakni hubungan suami-istri, hadirnya musik pengiring amat terpulang pada selera masing-masing pasangan. “Soalnya, ada yang suka dan ada pula yang tidak.” Ada yang memang senang menggunakan nuansa musik untuk menghadirkan suasana lebih romantis. “Sebaliknya, ada juga yang menganggapnya justru mengganggu kebersamaan mereka.”

Di sisi lain, prinsip dasar antara mendengarkan musik dan hubungan intim sedikit banyak memiliki kemiripan. Di antaranya menuntut konsentrasi tinggi dan membutuhkan energi yang tidak sedikit. Dengan kata lain, bukan sesuatu yang sifatnya santai-santai dan bisa dilakukan sambil lewat begitu saja.

HADIRKAN SUASANA

Kehadiran musik, sambung Monty, bukan tidak mungkin malah dianggap mengganggu. Alih-alih mau menambah indah suasana, eh, justru perhatian teralih ke musik tadi.”Kecuali kalau masing-masing pihak sepakat dan sudah terbiasa dengan ‘ritual’ semacam itu.”

Selain itu, terang Monty pula, musik harus mampu bersifat amusement alias bisa dinikmati. Jadi, “Sepanjang musik yang diperdengarkan tadi bisa dinikmati oleh pasangan suami-istri yang tengah berintim-intim, membuat keduanya dalam suasana relaks, mengapa tidak?”

Namun, tegasnya, perlu disadari sekali lagi, kehadiran musik hanya sebatas memberi pengaruh pada nuansa suasana. Dalam arti, suasana yang diharapkan suami-istri mudah-mudahan bisa terwujud dengan kehadiran musik. Meski tentu saja tidak selalu demikian.

Soalnya, bukan tidak mungkin, kan, di saat yang bersamaan seorang istri tengah dingin alias tak berselera, sementara suaminya justru amat menggebu. Suami yang bijak tentu tidak akan memaksa. Sebagai gantinya, mengapa tidak mencoba cara lain semisal menyetel musik kesukaan istrinya? Kalau lewat musik tadi si istri jadi terkenang pada kenangan tertentu yang istimewa, bukan tidak mungkin akan timbul suasana relaks ataupun romantis. Nah, dalam suasana seperti itu tak berlebihan, kok, kalau gairah seksual diharapkan bisa muncul.

Kendati, tegas Monty, lagi-lagi kedekatan psikologis jauh lebih menentukan. “Kalau suami-istri lagi marahan, biarpun disetel lagu seromantis apa pun, saya sangsi gairah seksual bisa muncul.” Dengan kata lain, jikatengah jengkel, jangan harap bisa terjalin hubungan intim hanya dengan mengandalkan musik.

Karena itu, tambahnya, “Kalaupun ada yang bilang pengaruh musik terhadap seks sedemikian hebat, mungkin penelitiannya terlalu bias. Artinya, sudah ada harapan yang berlebihan mengenai hal tersebut.” Jadi, musik atau lagu tertentu hanya ikut membentuk/menghadirkan suasana romantis. Hanya saja apakah suasana romantis itu nantinya akan menyatukan individu suami-istri dalam hubungan intim, tak ada yang bisa memastikan.

Bergetarnya Elemen Tubuh

Musik, tegas Monty, arahnya justru lebih ke spiritual ketimbang libidinal/dorongan hewani meski kelak ada hubungan satu sama lain. “Karena awalnya, kan, musik muncul sebagai pemujaan terhadap alam semesta dan penciptanya.”

Pemujaan kepada dewa dan leluhur lewat nyanyian dan tarian untuk minta hujan, contohnya. Nah, melalui gerakan-gerakan saat menari itulah individu yang bersangkutan merasakan adanya dampak libidinal. “Pada dasarnya, musik menghasilkan vibrasi suara. Nah, itulahyang menggetarkan banyak elemen di dalam tubuh yang kemudian membangkitkan gairah tertentu. Di antaranya, ya, gairah erotis itu tadi. Hanya saja sifatnya sangat individual.”

Libido Sudah Tinggi

Akar musik dangdut yang sama sekali belum dimordernisir, jelas Monty, boleh jadi memang dimaksudkan untuk menggugah gairah seksual. Hanya saja, campuran pengaruh musik India dan Melayu ini ditujukan buat mereka yang tengah menikmati minuman beralkohol di warung-warung pinggir jalan dalam keremangan malam.

“Boleh jadi libido mereka yang nongkrong di situ memang sudah tinggi, lalu semakin dipacu lagi dengan suasana remang-remang dan minuman beralkohol tinggi. Jadi, bukan semata-mata karena musiknya.”

Jika Beda Selera

Menurut Monty, kalau selera musik antara istri dan suami bertolak belakang, mau tidak mau harus disesuaikan dulu satu sama lainnya. “Tidak bisa saling memaksakan diri untuk saling melengkapi.” Contohnya, istri suka lagu klasik sementara suami justru makin bergairah jika mendengar lagu dangdut.”Jangankan terbangkitkan gairah, bisa-bisa istri malah sebal dan akhirnya mereka malah ribut karena dongkol. Akhirnya, gairah jadi padam.” Lalu bagaimana menjembataninya? “Ya, enggak usah pakai musik saja, deh! Sederhana, kan?”

Lagu Mendesah VS Gairah

Sampai saat ini, aku Monty, belum bisa dipastikan, apakah ada penelitian khusus tentang musik tertentu yang membuat gairah seseorang meningkat. Misalnya, lagu yang disertai suara mendesah. Atau lagu yang direkam dengan metode subliminal hingga ada gelombang suara, namun tidak tertangkap oleh penginderaan biasa. Apakah gelombang suara yang desibelnya di bawah 20 hingga hanya bisa ditangkap oleh alam ketidaksadaran yang membuat individu bersangkutan merasakan adanya perubahan tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi?

Kalau hal semacam itu yang terjadi, terang Monty, “Tidak bisa diklasifikasikan sebagai musik. Melainkan stimulus getaran (fibrational stimulation) yang kemudian memicu gairah seksual.”

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 155

GAGAL BERINTIM-INTIM AKIBAT TRAUMA MASA KECIL

29 Feb


Hati-hati, trauma seksual semasa kecil bisa menjadi biang keladi terjadinya vaginismus. Perlu penanganan simultan secara intensif, baik fisik maupun psikis.

“Apa, sih, vaginismus?” begitu tanya banyak orang penasaran. Vaginismus, terang konsultan seks DR. Ferryal Loetan, SpRM, MMR, merupakan gangguan seksual pada wanita. Tepatnya, bagian dari frigiditas yang membuat si wanita tak mampu mendapat rangsangan seksual. Jangan salah, ia sebetulnya mau, tapi sama sekali tak bisa menerima rangsangan seksual dalam dirinya. Repot, kan?

Wanita penderita vaginismus, lanjut Ferryal, “Jangankan merasakan apa yang disebut orgasme, penetrasi atau masuknya penis ke dalam vagina pun tidak terjadi lantaran timbul spasme atau kontraksi otot-otot vagina secara berlebihan. Akibatnya, vagina sama sekali tidak bisa membuka dan menerima apa pun, termasuk penis.” Padahal kontraksi otot vaginasendiri sebetulnya diperlukan untuk “mencengkeram” penis. Cengkeraman inilah yang justru memberikan kenikmatan pada pasangan suami-istri.

Pada kasus-kasus vaginismus, kontraksi vagina justru terjadi berlebihan di samping sebetulnya terjadi di luar kontrol alias tidak diinginkan oleh yang bersangkutan. “Dia ingin hubungan seksual yang ditandai dengan penetrasi, namun vaginanya sama sekali tak mau membuka akibat kontraksi yang tak terkontrol tadi.”

Untunglah kasus vaginismus amat sedikit. “Mungkin hanya 1 di antara 10 kasus-kasus frigiditas yang juga hanya berkisar 10 persen dari seluruh gangguan seksual.”

DIANGGAP MENJIJIKKAN

Lalu mengapa bisa terjadi demikian? “Yang paling sering,akibat trauma psikis yang terkait dengan kehidupan seksual.” Misalnya, ketika kecil ia “menangkap basah” orang tuanya yang tengah bersetubuh. “Dalam pemahaman anak, si ibu yang menjerit-jerit atau mengaduh tak ubahnya seperti orang kesakitan, padahal sebetulnya si ibu tengah merasakan nikmat. Sementara dalam hati dan pola pikir si anak, yang terpatri justru hal sebaliknya. Tak heran kalau persetubuhan lantas dianggap sesuatu yang menyakitkan atau menjijikkan. Bahkan ajang penyiksaan terhadap kaum perempuan.”

Sebab lain, muncul perasaan jijik saat melihat hubungan seks yang saat itu sama sekali belum dipahaminya. Semisal, “Kok, mereka jorok banget, sih! Seperti anjing tetangga depan!” Bukan tidak mungkin, lo, kejadian-kejadian yang terlihat tadi membuat si anak sedemikian jijik. Anggapan salah dan perasaan jijik itulah yang kemudian telanjur tertanam begitu kuat dalam diri anak.

Celakanya, pola pikir yang telanjur salah kaprah ini akan sulit sekali diluruskan. Soalnya, bila dianalogikan dengan perangkat komputer, kesalahan tadi merupakan error yang masuk ke “CD-Room” seseorang. Nah, kalau error ini sudah mengenai bagian ingatan di otak sekaligus perasaan/lubuk hati seseorang, pasti tidak akan hilang begitu saja. “Kalaupun bisa, pasti sangat sulit dan perlu waktu khusus yang amat panjang, selain diperlukan perjuangan yang ekstra keras dari banyak pihak. Terutama suaminya.”

Akan lain ceritanya kalau si anak mengalami hal sama saat dia sudah mendekati atau bahkan mencapai masa puber. Setidaknya, ia sudah mulai mengenal/memahami hal-hal yang terkait dengan kehidupan seks. Semisal mulai tertarik pada jenis kelamin lain dan tahu pula bahwa sebagai perempuan dirinya berbeda secara seksual dengan kakak/adiknya yang laki-laki. Pemahaman/pengetahuan seperti itulah yang membantunya relatif lebih mudah mengikis trauma psikis seputar seks yang mungkin terjadi.

PENIS TERJEPIT

Menurut ragamnya, kata Ferryal, gangguan vaginismus sendiri dibedakan atas yang ringan dan berat. Ringan, jika yang bersangkutan masih bisa menerima penetrasi. Sayangnya, begitu penetrasi terjadi, vaginanya berkontraksi hebat. Akibatnya, penis terjepit (kerap disebut gancet). Sedangkan yang berat,”Boro-boro suaminya bisa penetrasi. Baru melihat suaminya telanjang saja, si wanita sudah begitu ketakutan luar biasa.”

Dalam kondisi seperti itu, vaginanya jelas sudah kaku dan mengalami kekejangan. “Jadi, bagaimana mungkin si suami mau memberikan rangsangan seksual yang kemudian berlanjut pada penetrasi?” Padahal, sambung Ferryal, ketakutan si istri tersebut bukan melulu harus ditimpakan pada sang suami. Bisa saja suaminya bukan termasuk tipe yang kasar atau main tanpa pemanasan. “Masalahnya lebih pada trauma psikis.”

Selain trauma seksual semasa kecil, lanjut Ferryal, ketakutan sesaat yang bersifat intensif juga bisa menyebabkan munculnya vaginismus. Soalnya, kasus-kasus gancet umumnya terjadi di tempat-tempat yang dianggap angker/menyeramkan, seperti rumah kosong atau pemakaman umum. Tak heran kalau kejadian tadi lantas dihubung-hubungkan dengan hal-hal magis, semisal kesambet setan.

Padahal, usut punya usut ternyata bukan tempatnya yang menyebabkan kejadian gancet, melainkan karena situasi berintim-intim itu sendiri yang dirasakan begitu menegangkan. Semisal takut ketahuan karena dilakukan bukan dengan suaminya, tetapi dengan pria selingkuhannya.

PEMBULUH DARAH PECAH

Sejauh ini, lanjut Ferryal, kasus vaginismus memang tidak menyebabkan kematian tapi hanya sebatas kepanikan dan kesakitan luar biasa pada pihak suami. Penyebabnya, otot-otot vagina yang mengalami kontraksi berlebih tadi, banyak terdapat di bagian permukaan saja. Sedangkan di bagian dalamnya nyaris tidak ada.

Alhasil, begitu terjepit, darah yang sudah telanjur masuk ke dalam penis yang mengalami ereksi, tak bisa kembali dipompa ke luar. Akibatnya, makin lama penis makin bengkak dan kian sakit. “Kalau didiamkan terus-menerus, jelas berbahaya, dong. Setidaknya pembuluh-pembulu darah halus di penis akan pecah. Bukan tidak mungkin kondisi ini di kelak kemudian hari menimbulkan gangguan ereksi.” Namun biasanya, kata Ferryal, jarang terjadi karena begitu memiliki pengalaman seperti ini, yang bersangkutan pasti akan mencari pertolongan medis.

Untuk kasus-kasus gancet, yang secara medis tergolong ringan, penderita bisa langsung datang ke rumah sakit. Dokter biasanya akan memberi suntikan atau obat yang membuat otot-otot vagina yang kaku/mengejang tadi kembali relaks. Nah, begitu terjadi relaksasi, vagina diharapkan akan membuka dengan sendirinya, hingga penis yang semula terjepit bisa terlepas. “Jadi, tak perlu sampai harus ‘dibor’ atau menggunakan teknik operasi apa pun untuk mengeluarkan penis yang terjepit tadi.”

Relaksasi memang sangat membantu. Tapi tak berarti cukup dengan nasihat, “Coba, deh, Pak-Bu, tenang.” Belum lagi kedua belah pihak panik, stres, dan malu jadi tontonan.”Mau tak mau,penanganannya memang mesti diserahkan ke pakarnya, yaitu konsultan seks dan psikiater.”

Selain itu, keberhasilan penanganan pun amat tergantung pada keterbukaan kedua belah pihak. Bukan sekadar pasrah dalam arti keliru semisal,”Ya, sudahlah, ini memang sudah nasibku,” lantas tak mau berobat sama sekali. “Kalau sudah begini, jangan harap bakal ada perbaikan, deh!” Soalnya, tegas Ferryal, gangguan vaginismus tak mungkin terselesaikan hanya dengan mengandalkan berjalannya waktu.

PERLU DUKUNGAN SUAMI

Terapi penanganan vaginismus, jelas Ferryal, umumnya dilakukan secara bertahap. Salah satunya dengan lebih banyak melakukan cumbuan-cumbuan seksual, namun tidak sampai melakukan penetrasi. Cara ini terus dilakukan sampai beberapa waktu. Sedangkan upaya penetrasi pun dilakukan secara bertahap. Misalnya, di tahap awal menggunakan alat bantu semisal teknik jari, kemudian dalam jangka panjang intensitas kedalamannya ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Untuk menjalani terapi, jangan pernah berharap bisa selesai dalam waktu singkat. Kalau selama menjalani terapi, contohnya, suami tidak tahan kemudian melakukan penetrasi secara buru-buru, justru bisa berakibat fatal. Bukan tidak mungkin malah memperparah trauma yang ada.

Itu sebabnya,tegas Ferryal, seorang suami yang kebetulan beristrikan wanita dengan gangguan vaginismus, amat dituntut kesabarannya untuk memahami kondisi si istri. Artinya, “Jangan malah menuduh ‘kelemahan’ tersebut sebagai akal-akalan si istri untuk menolak berhubungan dengan suami.”

Dengan begitu si suami pun sangat diharapkan untuk tidak pernah memaksakan kehendaknya. Semisal, “Pokoknya, malam ini kamu harus melayani saya!” Kalau bentuk kekerasan dan pemaksaan kehendak semacam itu yang digunakan, bukan tidak mungkin keluhan vaginismus si istri justru semakin parah sehingga penanganannya juga jadi kian sulit dan membutuhkan waktu lebih lama.

Dari pihak suami pun diharapkan kesediaannya mendampingi sang istri menjalani pengobatan. “Untuk gangguan vaginismus yang tergolong paling ringan pun, perlu waktu lama untuk “membongkar” trauma yang sudah sekian lama bercokol di benak si penderita. Nah, apalagi yang berat?”

Bersikap Bijak Di Malam Pertama

Buat banyak pasangan, malam pertama sering jadi masalah atau malah membawa petaka. Terlebih bila pengetahuan seksual masing-masing masih nol alias buta soal seks. Kalau masa kecil si pengantin wanita “bersih” dari trauma, bukan tidak mungkin petaka di malam pertama tadi justru menjadi trauma awal yang membuatnya mengalami gangguan vaginismus. Terlebih bila trauma tadi tidak disikapi secara bijak.

Dengan pertimbangan itulah, Ferryal menganggap pentingnya pendidikan seks yang berkelanjutan sejak dini. Yakni sejak anak mulai menaruh perhatian khusus pada hal-hal yang berbau seksual. Misalnya saat mandi bersama orang tua yang berjenis kelamin sama, si anak bertanya. “Pak, ‘burung’ saya kecil. Kok, punya Bapak besar dan ada bulunya?” Kalau pertanyaan semacam itu sampai terucap oleh balita,tandanya ia perlu mendapat penjelasan dari orang tuanya.

Toh, penjelasannya tak perlu kelewat detail yang hanya akan membuat anak bingung. Cukup jawab sesuai kebutuhan anak saat itu dan tingkat kecerdasan si anak. Umpamanya,”Nanti kalau kamu sudah besar juga seperti ini.”

Sebagai orang tua kita pun mesti mampu bersikap terbuka jika suatu saat anak akan mempertanyakan hal yang sama, namun membutuhkan penjelasan lebih detail sesuai dengan perkembangan daya pikirnya. Yang pantang dilakukan adalah meng-cutpertanyaan anak, semisal, “Hus, enggak boleh tanya-tanya begitu! Enggak sopan!” Sikap langsung memotong ini justru akan membuat anak penasaran yang akhirnya mendorongnya mencari tahu ke sumber-sumber lain. Padahal, sumber tadi justru kemungkinan besar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kita juga yang repot, kan?

Siapa Saja Bisa Kena

Gangguan vaginismus, kata Ferryal, bisa mengena siapa saja. Dia takmengenal etnis/ras tertentu, latar belakang pendidikan maupun lapisan ekonomi. Begitu juga latar belakang keluarga, semisal keluarga kaku yang menabukan soal seks atau sebaliknya.

Hanya saja mereka yang mengalami vaginismus kebanyakan berkepribadian introvert/tertutup. “Tapi jangan salah, meski yang bersangkutan introvert, kalau tidak punya trauma masa kecil yang berkaitan dengan urusan seks, ya, tidak berpeluang menjadi penderita gangguan vaginismus.”

Vaginismus VS Sikap Dingin Usai Melahirkan

Bersikap dingin usai melahirkan, kata Ferryal, tak bisa dikategorikan sebagai gangguan vaginismus. Sebab, meski sama-sama menunjukkan penolakan terhadap aktivitas seksual, sikap dingin ini hanya bersifat temporer.

Traumanya pun lebih bersifat fisik semisal tak tahan menanggung nyeri sewaktu hamil atau saat persalinan. Hingga praktis lebih mudah “ditangani” karena begitu rasa sakitnya hilang, si ibu pun mau dan bisa kembali berhubungan seksual dengan suaminya. Sementara vaginismus, traumanya lebih berakar ke masalah psikis.

Tanpa Tanda Khusus

Menurut Ferryal, umumnya wanita yang bersangkutan tidak menyadari dirinya mengalami gangguan vaginismus. “Soalnya, memang tidak ada tanda-tanda khusus atau gejala spesifik sebelumnya. Ia baru tahu menderita gangguan tersebut kalau sudah ada kejadian.”

Sedangkan sikap dingin pada laki-laki, tegasnya, tak identik dengan vaginismus. Mereka yang dingin bisa saja mampu mengadakan hubungan seks. Artinya, vaginanya bisa terbuka, kendati dirinya mungkin tidak bisa menikmatinya dan sama sekali tak mungkin merasakan orgasme.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 152

MITOS PERBEDAAN SEKS PRIA & WANITA

29 Feb


Agar kehidupan seksual bisa dinikmati sebagai wujud kebersamaan, suami-istri harus mau meluruskan pandangan keliru mengenai urusan yang satu ini.

Tak bisa dipungkiri, ada begitu banyak mitos menyesatkan yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua” dibanding pria. Yuk, kita simak apa saja perbedaan dan bagaimana kondisi idealnya yang dipaparkan seksolog Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS

1. Dorongan Seksual Pria Lebih Kuat Dibanding Wanita

Tidak benar. Pada dasarnya, dorongan seksual pria maupun wanita relatif sama. Secara umum kondisi tersebut dipengaruhi oleh hormon seksual, faktor psikis, rangsangan seksual yang diterima, kondisi kesehatan tubuh yang bersangkutan, serta pengalaman seksual sebelumnya.

Kalaupun benar berbeda, itu lebih diakibatkan oleh nilai sosial dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Bukankah wanita dikatakan “baik-baik” bila ia tidak terlihat agresif dan mampu menekan keinginannya mengekspresikan dorongan seksual? Persepsi itulah yang agaknya memunculkan kesan keliru bahwa dorongan seksual wanita lebih rendah dibanding pria.

Celakanya, berdasarkan gender dan mitos-mitos yang menempatkan kaum Adam sebagai makhluk unggul, membuat pria secara moral merasa dituntut harus lebih dalam urusan ini. Tak heran kalau banyak pria yang kecewa jika kehidupan seksualnya tidak seperti mitos-mitos tadi. Mereka berlomba memenuhi kriteria “ideal” tersebut semisal dengan mengkonsumsi obat kuat bahkan operasi memperbesar alat kelamin yang justru bisa berakibat fatal.

2. Bagi Pria Seks Menempati Urutan Pertama

Boleh jadi anggapan ini muncul karena pengkotak-kotakan peran dan gender serta suburnya mitos yang menempatkan pria sebagai makhluk unggul tadi. Sebaliknya, wanita tak jarang dianggap sebagai objek seksual atau malah makhluk aseksual yang hanya berfungsi sebagai alat pemuas pria. Dorongan mendapat kepuasan dan keinginan dilayani semacam itulah yang lantas memunculkan gambaran bahwa pria mengutamakan urusan seks. Seolah tanpa seks, kehidupannya bakal berakhir.

3. Bagi Wanita Seks Identik dengan Cinta, Pria Sebaliknya

Artinya, untuk sampai terlibat pada aktivitas seksual, bukan melulu unsur fisik yang menjadi pertimbangan. Wanita membutuhkan ekspresi emosional, semisal pelukan yang membuatnya merasa terlindungi dan disayangi. Selain sikap gentlemenlike atau penuh perhatian untuk hal-hal kecil. Sebaliknya, pria mengutamakan penampilan fisik, semisal harus cantik/menarik, memiliki bentuk tubuh yang aduhai sekaligus bisa nyambungsebagai partner. Kendati banyak contoh yang mendukung bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Semisal pekerja seksual yang berorientasi pada uang ketimbang pemenuhan kebutuhan/kedekatan emosional.

4. Wanita Berperan Pasif, Pria Selalu Ambil Inisiatif

Dalam berhubungan seksual, posisi wanita memang pasif, dalam arti hanya menerima penis hingga bisa melakukannya kapan saja. Berbeda dengan pria yang harus aktif dan wajib ereksi. Karena tanpa ereksi, hubungan seksual tak mungkin berlangsung. Tentu akan sangat membosankan bila pola seperti itu yang selalu mewarnai hubungan suami-istri. Terlebih bila si istri sungkan untuk bersikap aktif hanya karena persepsi salah mengenai seks.

Padahal untuk mempertahankan kehidupan seksual yang harmonis, peran serta wanita secara aktif justru lebih memungkinkan kedua belah pihak memperoleh kenikmatan seksual. Sebab pria pun justru tertantang egonya sekaligus tergugah nafsu seksualnya bila istrinya yang ambil inisiatif. Sebaliknya, pria merasa sebatas menjalankan “tugas” jika dirinyalah yang selalu ambil inisiatif setiap kali berhubungan intim. Terbukti pula bahwa masalah seksual lebih mudah teratasi bila wanita memiliki dorongan seksual lebih tinggi atau setidaknya setara dengan dorongan seksual suaminya.

5. Pria Selalu Menerima Rangsangan Efektif, Sementara Wanita Tidak

Boleh jadi karena organ seksual pria berada di luar tubuh, hingga amat mudah menerima rangsangan seksual. Sementara rangsangan yang sama mungkin diterima wanita secara biasa-biasa saja. Selain karena klitorisnya terbilang kecil sekali dibanding penis pria, organ-organ kelamin wanita berada tersembunyi dalam tubuh. Kendati reaksi seksual secara fisik tidak hanya terjadi pada kelamin, melainkan juga pada bagian tubuh yang lain. Reaksi seksual tersebut menimbulkan akibat psikis berupa sensasi erotik yang kurang lebih sama pada pria maupun wanita dan mencapai puncaknya dalam bentuk orgasme.

6. Pria Pasti Terganggu Bila Dorongan Seksual Tak Terpenuhi, Sedangkan Wanita No Problem

Sebetulnya tidak terpenuhinya dorongan seksual menimbulkan dampak yang kurang lebih sama pada pria maupun wanita. Di antaranya rasa kecewa dan gejala-gejala psikosomatis seperti pusing, cepat marah/uring-uringan, susah tidur, dan pegal-pegal di sekujur tubuh. Masih ditambah lagi dengan munculnya protes atau malah percekcokan yang bisa menimbulkan ketegangan dalam perkawinan. Bukan tidak mungkin pula pihak yang dorongan seksualnya tak terpenuhi kemudian mencari pemuasannya pada PIL/WIL.

Kalaupun pada wanita kelihatan tak menimbulkan masalah, itu lebih karena nilai-nilai sosial yang berlaku mengharuskan wanita nrimo alias bersikap pasrah, “Ya, mau bilang apa? Sudah nasibku, kok.”

7. Pria Mampu Melakukan Aktivitas Seksual Sampai Tua

Tak benar anggapan yang mengatakan bahwa kehidupan seksual wanita akan berakhir begitu memasuki menopause. Jangan salah, wanita tetap memiliki dorongan seksual sekalipun sudah menopause. Bukan tidak mungkin wanita malah kian menikmati kehidupan seksualnya karena tak lagi dibayangi ketakutan hamil atau repot kedatangan tamu bulanan. Kendati biasanya kemampuan lubrikasi/”pembasahan” agak terganggu yang bisa menimbulkan dispareunia. Kalaupun muncul gangguan/keluhan semisal vagina terasa kering dan panas, diperlukan rangsangan lebih intens untuk membangkitkan gairah wanita. Jika perlu dibarengi pemberian hormon tertentu atau jelly untuk mengatasi kekeringan tadi.

Kendati tentu saja seiring dengan bertambahnya usia, semua proses tubuh, termasuk dorongan seksual, secara berangsur akan menurun, baik pada wanita dan pria. Kehidupan seksual pria akan mencapai puncaknya pada usia 20-an, kemudian turun secara mendatar sampai menjelang akhir 40-an yang diikuti dengan penurunan drastis hingga usia lanjut. Sementara wanita mencapai puncaknya sekitar umur 30 tahun, kemudian menurun secara mendatar sampai usia 40 tahun, namun selanjutnya tak memperlihatkan penurunan tajam.

Kecuali terserang penyakit tertentu semisal diabetes melitus, sebenarnya dorongan seksual terus berlangsung sampai usia lanjut, baik pada pria maupun wanita.

8. Wanita Tak Selalu Bisa Orgasme, Sedangkan Pria Dipastikan Selalu Orgasme

Perbedaan anatomi alat kelamin memang bisa “dituding” sebagai penyebab mengapa pria hampir selalu mencapai orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual, sementara banyak perempuan tidak mengalaminya. Artinya, mekanisme organ kelamin pria memang dikondisikan untuk bermuara pada ejakulasi yang membuatnya terpuaskan secara seksual.

Dalam keadaan normal, dengan posisi apa pun pria bisa dengan mudah mencapai orgasme. Sementara organ kelamin wanita agaknya “didesain” sedemikian rupa hingga untuk sampai puncak kenikmatan butuh “jalan berliku” dan waktu lebih lama. Hanya saja, kondisi semacam itu bisa disiasati dengan latihan dan pengertian kedua belah pihak.

9. Ejakulasi Hanya Milik Pria

Dulu memang diyakini bahwa terjadinya ejakulasi merupakan perbedaan mendasar antara seksualitas wanita dan pria. Akan tetapi belakangan makin banyak disebut istilah female ejaculation karena ternyata tidak sedikit wanita yang dapat mengalami “ejakulasi”. Kendati yang disemprotkannya saat itu bukan cairan sperma seperti halnya pada pria. Melainkan cairan putih bening dan terbukti bukan air seni.

10. Wanita Bisa Mencapai Orgasme Berulang

Beruntunglah wanita yang memiliki kemampuan untuk mencapai orgasme berulang kali(multiple orgasm) setiap kali berhubungan intim. Tentu saja asalkan tetap menerima rangsangan seksual yang efektif dari pasangannya. Terlebih bila pria bisa mengendalikan diri dan menahan ereksinya guna mempersilakan si istri mencapai puncak kenikmatan lebih dulu.

Sebaliknya, meski mendapat rangsangan efektif secara terus-menerus pria hanya bisa orgasme sekali saja yang ditandai dengan ejakulasi. Kalaupun pria memaksa diri untuk mendapat orgasme berulang, tetap harus dilakukan dari awal setelah istirahat beberapa waktu. Artinya, tak bisa dilakukan dalam satu ronde. Kalaupun mampu, konon sensasinya tidak sama dengan orgasme yang pertama didapat.

Mitos-Mitos Lain Seputar Hubungan Intim

Wimpie Pangkahila menambahkan ada sejumlah mitos lain seputar hubungan intim yang juga menyesatkan. Di antaranya:

* Ukuran Penis

Mitos ini beredar luas dan diyakini sangat menentukan kualitas hubungan intim itu sendiri, terutama pencapaian kepuasan wanita. Artinya, makin besar dan panjang penis, makin baik. Hingga banyak pria yang merasa penisnya kecil lantas dibayangi rendah diri dan rasa takut yang berlebih bakal tak bisa memuaskan pasangannya. Akibatnya, yang bersangkutan takut melakukan hubungan seksual atau akhirnya betul-betul tak mampu melakukannya alias mengalami impotensi.

Untuk menutupi “kekurangan” tersebut tak sedikit yang menggunakan “aksesoris” pada penisnya. Entah dengan “menanam” mutiara atau bahan bundar di bawah permukaan kulit penisnya, memasang bahan sejenis rambut yang dikaitkan pada bagian frenulum penis, maupun menyuntikkan silikon di bawah kulit sekeliling bagian kepala penisnya hingga terdapat benjolan-benjolan. Semua upaya tersebut konon semata-mata ditujukan untuk memuaskan pasangannya.

Padahal boleh jadi penisnya terbilang kecil hanya dalam keadaan tak ereksi. Lagipula, bukankah kualitas kenikmatan hubungan suami istri lebih ditentukan oleh kedekatan emosi antara suami istri itu sendiri? Kepuasan seksual istri tidak ditentukan oleh besar kecilnya penis suami, melainkan oleh fungsi ereksi dan kemampuannya mengontrol ejakulasi.

* Vagina Kering

Mitos ini juga begitu mengakar karena vagina kering konon diyakini lebih memberi kepuasan seksual ketimbang yang basah. Tak heran kalau perempuan, baik atas inisiatif pribadi maupun dorongan pasangan, lantas gencar mengupayakan agar vaginanya kering. Padahal langkah ini bertentangan dengan reaksi seksual yang terjadi secara normal dan alamiah pada wanita saat terangsang.

Bukankah dalam kondisi terangsang terjadi pelendiran pada dinding vagina hingga menjadi basah dan licin yang justru menjadi pertanda bahwa ia siap menerima penis sang suami? Sebaliknya, bila vagina masih kering karena tak ada lubrikasi tadi berarti wanita yang bersangkutan tidak cukup mengalami reaksi seksual, hingga belum siap melakukan hubungan seksual. Kalaupun penetrasi dilakukan saat vagina masih kering, akan menimbulkan rasa sakit pada kedua belah pihak. Bahkan lebih jauh bisa menyebabkan perlukaan, perubahan suasana biologik maupun peradangan dan infeksi vagina.

* Darah Perawan

Mitos yang satu ini boleh jadi paling populer dalam masyarakat. Masyarakat luas masih beranggapan bahwa keperawanan seorang wanita harus ditandai dengan keluarnya darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual. Padahal boleh jadi di saat awal mitos ini tumbuh subur, wanita hanya dianggap sebagai objek seksual belaka oleh pria. Maka ketika melakukan hubungan seksual wanita dalam keadaan tidak siap dan tidak terangsang, hingga hubungan berlangsung dalam suasana paksaan. Akibatnya, terjadilah robekan yang menimbulkan perdarahan.

Padahal kalau perempuan berada dalam keadaan siap dan terangsang, yang bersangkutan dapat melakukan hubungan seksual dengan baik tanpa hambatan. Bahkan tanpa harus ada “pertumpahan darah” meski ia masih perawan. Dengan begitu berbagai iklan yang mengaku bisa membuat perempuan seperti “perawan” lagi tak lain cuma kesia-siaan belaka. Begitu juga operasi selaput dara yang bisa dikategorikan sebagai tindakan pembodohan masyarakat.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 147

KENALI EJAKULASI TERHAMBAT

29 Feb


Jangan kelewat bangga dan menganggap diri superhebat bila mampu ereksi lama. Justru bahaya jika tak segera disikapi.

“Payah, dari tadi hasilnya cuma keringetan, doang! Kapan nyampenya sih? Aku keburu pegel, nih!” Begitu keluhan yang sering dilontarkan istri lantaran merasa jengkel karena suaminya tak kunjung ejakulasi. Keluhan semacam itu, kata konsultan seks Dr. Ferryal Loetan, Sp.RM, MMR, wajar terucap karena si istri boleh jadi sudah bolak-balik mencapai puncak kenikmatan. Sementara tenaganya pun sudah terkuras habis, hingga sama sekali tak lagi bergairah.

Buat banyak pasangan, lanjut Ferryal, kemampuan suami menahan ejakulasi semata-mata agar istrinya memperoleh kepuasan seksual, memang patut diacungi jempol. Untuk bisa sampai ke taraf itu pun diperlukan latihan khusus dan jam terbang tersendiri. Hanya saja, pesannya, jangan mencampuradukkan kemampuan tersebut dengan salah satu bentuk gangguan impotensi yang disebut retarded ejaculation atau ejakulasi terhambat.

BISA IMPOTEN

Meski kasusnya relatif jarang terjadi, yakni sekitar 1 di antara 1.000, terang Ferryal, ejakulasi terhambat tak bisa dianggap enteng. Sebab, kondisi ini merupakan gangguan serius bagi para pria dalam urusan seksual. Memang, kaum Adam yang mengalaminya bisa mengadakan kontak seksual dengan pasangannya, kemampuan ereksinya bagus, namun ia mengalami hambatan untuk memancarkan air maninya. Misalnya perlu waktu berjam-jam atau bahkan sama sekali tak bisa ejakulasi. “Njengkelin banget, kan, kalau diajak ke puncak gunung, tapi enggak pernah sampe-sampe dan enggak tahu pula berapa lama waktu yang diperlukan?”

Sebab itu,imbuh Ferryal, ejakulasi terhambat bisa dikategorikan sebagai hipotensi. “Hanya saja gradasinya tak separah impotensi, yang tak bisa ereksi sama sekali.”

Ironisnya, mereka yang mengalami ejakulasi terhambat ini, awalnya merasa dirinya tak bermasalah. “Mereka malah merasa dirinya hebat.” Kalaupun akhirnya menyadari ada keganjilan dalam dirinya, umumnya tak berani mengutarakannya langsung dengan kata-kata. Melainkan dengan uji coba menjalin hubungan dengan sekian banyak wanita yang juga tak bisa membuatnya mencapai kepuasan. Tak heran bila kadar stresnya bertambah berat lalu ia pun jadi impoten.

ISTRI MENDERITA

Soal dampak pada istri, tandas Ferryal, “Jangan ditanya lagi, deh! Istri mana, sih, yang enggak merasa terganggu saat gairah seksualnya sudah kembali normal lalu ingin istirahat dan tidur pulas, penis suaminya justru masih berada dalam vaginanya.” Pendek kata, kondisi fisik dan emosinya sudah tak memungkinkan lagi untuk meneruskan hubungan intim, sementara suaminya masih menggapai-gapai mencapai puncak kepuasan. “Kondisi semacam itu jelas jadi beban psikis buat mereka berdua. Terlebih karena tak ada standar waktu berapa lama harus bertoleransi untuk menunggu suami ejakulasi.” Celakanya, sikap istri yang jadi gampang tersulut oleh kejengkelan akan memperburuk kondisi suami. Bukankah bila salah satu bermasalah, kondisi/kemampuan seksual pasangannya pun ikut-ikutan bermasalah? Tak heran kalau seorang suami yang mengalami gejala awal impotensi akan semakin bertambah parah keluhannya bila “disemprot” oleh istrinya, “Payah! Dasar impoten!” Hingga di lain waktu bukan tidak mungkin suami betul-betul kehilangan potensinya, lo!

Pelecehan semacam itu bisa berdampak besar pada faktor kejiwaan dan kelelakiannya karena amat memukul harga dirinya. “Pada laki-laki, yang disebut kejantanan, kan, nyaris identik dengan penisnya. Orang sekekar apa pun, contohnya, kalau penisnya enggak bisa ‘bangun’ manalah bisa disebut jantan.”

SALAH PERSEPSI

Sayangnya, orang kerap terjebak pada mitos yang menganggap pria hebat jika bisa ereksi sekaligus mempu bertahan sekian lama. Padahal, tidak selalu demikian. Sebab, terang Ferryal, “Normalnya hubungan intim bisa disudahi dengan ejakulasi hanya dalam waktu 5-7 menit. Kendati dengan berbekal pengalaman, konsentrasi, dan latihan-latihan khusus untuk menguatkan otot-otot dasar panggul, bisa saja yang bersangkutan mencapai ejakulasinya 20-30 menit atau lebih sejak ereksi. Hanya saja, mereka memang sengaja menundanya dengan tujuan agar si istri orgasme dulu atau agar bisa sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Jadi, bukan lantaran enggak bisa ejakulasi!”

Menilik penyebabnya, jelas Ferryal, retarded ejaculation bisa karena faktor fisik maupun psikis. Penyebab gangguan fisik antara lain gangguan di uretra/saluran kemih. Semisal, penyempitan akibat infeksi atau kerusakan jaringan ikat karena trauma benturan atau pukulan/tendangan di sekitar daerah pubis/panggul.

Bisa juga karena mekanisme klep yang mengatur masing-masing aliran darah, air mani, dan alir seni di penis terganggu. Entah karena penyakit tertentu ataupun gangguan di otot-otot pengatur klep tersebut. Padahal, kerja klep itulah yang memungkinkan sperma tak bercampur dengan air seni meski salurannya sama. “Kalau klepnya tak berfungsi, bukan tidak mungkin spermanya akan muncrat kembali ke kandung kemih atau malah masuk ke ginjal. Ini jelas berbahaya dan menimbulkan sakit atau nyeri yang luar biasa. Padahal, kan, seharusnya persetubuhan mendatangkan kenikmatan.”

Pria dengan penyakit tertentu semisal diabetes, jantung, hipertensi dan stroke, lanjut Ferryal, ternyata lebih rentan terkena gangguan hipotensi yang satu ini. “Yang jelas, bukan karena penyakit-penyakit itu sendiri, melainkan penggunaan obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut. Terlebih bila obat-obatan tadi digunakan secara sembarangan tanpa pengawasan dokter.” Diduga karena obat-obatan tadi banyak berhubungan dengan pembuluh darah dan sistem saraf. Kendati sebaliknya, pada sebagian penderita stroke tak sedikit pula yang justru mengalami gangguan hiperseks.

PENGALAMAN TRAUMATIS

Menurut Ferryal, penyebab utamanya adalah psikis. Tepatnya, trauma terhadap kehidupan seks itu sendiri yang dialaminya semasa kanak-kanak. Bisa saja saat itu ia dipaksa melihat dan atau melakukan hal-hal tak senonoh yang sama sekali belum dimengertinya. Karena itulah,para korban pelecehan seksual, terutama yang terjadi di masa kanak-kanak, sebaiknya segera mendapat penanganan bijak agar pengalaman traumatisnya tak berkepanjangan. “Jangan malah dianggap enteng dengan mengatakan, ‘Ah, enggak apa-apa, masih kecil ini. Entar juga lupa sendiri.’ Justruharus segera digali perasaan mereka, sekaligus dibenahi faktor kejiwaannya karena pengalaman-pengalaman traumatis seperti itu tak akan terselesaikan begitu saja.”

Bisa juga karena tanpa sengaja si anak melihat adegan berintim-intim orang tuanya atau orang dewasa lainnya. “Terlebih bila si wanita berteriak-teriak karena rasa nikmat. Tapi di benak anak telanjur tertangkap kesan bahwa aktivitas seks itu sesuatu yang sangat menyakitkan. Runyam, kan?” Karena itu, lanjutnya,orang tua diharapkanlebih berhati-hati saat berhubungan intim. “Minimal, jangan sampai terlihat oleh anak. Jangan pula menganggap situasi sudah ‘aman’ hanya karena si kecil sudah tidur pulas. Bukan tidak mungkin ia terbangun oleh suara berisik orang tuanya yang tengah berasyik masyuk. Di sinilah pentingnya mengupayakan hubungan suami istri betul-betul terjaga privacy-nya.”

CARI SOLUSI

Soal solusi,harus diupayakan bersama oleh suami-istri bersangkutan. Dalam arti, istri pun diminta pengertian untuk mengerem keinginannya memuntahkan kejengkelannya yang hanya akan memperburuk situasi. Pihak istri, sambungnya, disarankan pula mendorong suaminya untuk berkonsultasi ke konsultan seks yang akan merekomendasikannya untuk berobat lebih lanjut ke dokter ahli lain yang terkait. “Kalau memang berhubungan dengan gangguan uretra, tentu mesti dikirim ke bagian bedah urologi. Atau jika bersumber dari keluhan diabetes, harus dikonsultasikan ke ahli penyakit dalam. Sementara yang diakibatkan oleh pengalaman-pengalaman traumatis akan diarahkan penanganannya ke psikiater.”

Menganjurkan suami “jajan” atau cari perempuan lain di luaran hanya karena merasa dirinya kewalahan, tandas Ferryal, jelas bukan solusi tepat. “Jangan salah, buat si pria, gangguan semacam itu merupakan pukulan berat, lo!” Bagaimana tidak? Selain capek karena harus melakukan hubungan intim selama berjam-jam, penisnya akan spanningterus karena ereksi. Sementara dengan masturbasi pun sama sulitnya. “Kalau sudah demikian, lanjut Ferryal, tak ada cara lain kecuali memberi obat tertentu guna menurunkan ketegangan penis.

Penis yang mengeras terus-menerus tentu bisa membahayakan. Apalagi bila kelainan/gangguan tersebut disebabkan oleh kerusakan klep pengatur di penis tadi. Bisa saja terjadi, akibat kerja klep yang “kacau”, darah yang sudah masuk ke penis tak bisa balik terpompa ke luar lagi. Akibatnya, penis makin lama kian mengeras yang disebut priapism alias ereksi terus-menerus dan menimbulkan sakit yang luar biasa. “Tak ada jalan lain kecuali harus dioperasi untuk membereskan pembuluh darah di situ.”

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Seksologi/edisi 144