Archive | March, 2012

POLA ASUH KELEWAT IDEAL JUSTRU BAHAYA

9 Mar


Ideal, sih, boleh-boleh saja. Tapi jangan terikat habis.Dampaknya buruk, lo, buat anak dan si ibu sendiri.

Bahwa tiap orang tua harus punya gambaran ideal sebagai titik orientasi dalam menjalani hidup, benar adanya. Termasuk dalam mendidik anak. Hanya saja, tegas Dra. Suhati Kurniawati yang akrab disapa Iin, psikolog dari LPT UI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia), jangan lalu cuma terpaku pada gambaran ideal tadi. Bisa-bisa, “Anak dididik seperti robot.”

Pola pengasuhan, jelas harus ada. Begitu juga dengan aturan, pembiasaan, maupun rutinitas. Dengan catatan, tak terlalu kaku atau berlebihan. “Apa pun juga, anak tetap harus diberi kesempatan untuk belajar memilih. Juga diajak bicara dan dikenalkan pada kebutuhan dan keinginannya. Toh, yang namanya ideal, tak harus sama dan tak mungkin pernah sama dengan kenyataan.” Yang pasti, “Orang tua harus menghargai keinginan anak dan memberinya kesempatan untuk membuat pilihan sendiri.”

Konyolnya, tak sedikit orang tua yang justru mencekoki anaknya dengan pola tertentu yang itu-itu saja dari waktu ke waktu tanpa ada alternatif lain. Anak jadi tak punya kesempatan bertanya. Bahkan sebelum sempat bertanya pun, orang tua sudah membuatkan keputusan untuknya. Tak heran jika kelak saat dewasa, anak jadi terbiasa bergantung pada pilihan dan keputusan yang dibuatkan orang tuanya. “Kelihatannya sepele, ya? Tapi dampaknya bisa berupa rentetan yang panjang sekali.”

JADWAL KELEWAT KETAT

Ironisnya, orang tua kerap terjebak pada gambaran ideal tentang seorang anak yang sering digembar-gemborkan, yaitu yang pintar secara skolastik semisal cepat pintar membaca, menulis, dan berhitung,sehat yang semata-mata “disederhanakan” lewat penampilan fisik yang gemuk dan menggemaskan, yang bisa menunjukkan sikap manis/sopan. Padahal, semua gambaran ideal tentang sosok anak tadi tak akan bermakna jika sebatas rutinitas belaka tanpa ada nilai-nilai yang mendasarinya.

“Sebetulnya, orang tua banyak yang terjebak seperti itu karena keadaan masyarakat kita yang memang masih mengkondisikan para ibu untuk pegang peran lebih besar dibanding bapak dalam mendidik anak.” Ibu-ibu yang kelewat ideal dalam arti sempit ini (karena hanya sebatas yang kelihatan), jelas Iin, seringkali membuat kehidupan anaknya jadi “very scheduled”. Misal, minum susu dan buang air harus sesuai jadwal.Bahkan, menu makannya sudah ditetapkan jauh-jauh hari tanpa boleh diutak-atik sedikit pun! Termasuk bila ikan gindara agak sulit diperoleh dibanding ayam, contohnya.

Kendati begitu, Iin tak menyangkal jika pola asuh kelewat ideal, belakangan ini seolah jadi trend di kalangan keluarga muda. Boleh jadi kesibukan mereka yang begitu padat di luar rumah menuntut mereka untuk mengatur jadwal di rumahnya menjadi sama ketatnya. Melenceng sedikit saja, dianggap salah besar. Tak heran bila para babysitterlantas harus membuat laporan sampai ke hal-hal detail mengenai rutinitas anak. “Seolah, tanpa gambaran-gambaran ideal yang digembar-gemborkan tadi, dirinya adalah nothing.”

TAK BISA BERKEMBANG

Padahal, anak yang dibesarkan dalam kondisi serba ideal justru lebih banyak mengalami benturan dalam kehidupan bermasyarakat. Entah jadi rewel setiap kali ditinggal orang yang selama ini menyediakan/mengupayakan kondisi ideal tersebut atau tak terbiasa membuka mata terhadap hal-hal di luar kebiasaannya. Bukan tak mungkin pula anak merasa tersiksa karena dianggap aneh atau berbeda dari teman-teman atau lingkungannya. “Padahal, manusia adalah makhluk sosial.”

Mau tak mau, pada anak yang pintar, misal, harus diajar berani untuk melihat bahwa ada pihak lain dalam masyarakat struktural yang lemah atau tak sepandai dirinya. “Nilai-nilai semacam ini, kan, tak bisa diajarkan begitu saja secara instan.” Selain itu, kemandirian anak yang dibesarkan dalam kondisi kelewat ideal bisa dibilang tak berkembang atau setidaknya kurang berkembang. “Bagaimana bisa berkembang kalau semua selalu disediakan dan kebutuhannya pun terlayani lewat segala bentuk pengabdian luar biasa dari si ibu?”

Bukan tak mungkin pula anak mengalami kemandekan dibanding anak seusianya lantaran ada bagian-bagian tertentu yang memang tak pernah dicoba untuk dikembangkan. “Sayang sekali, kan, bila pola pikirnya jadi sedemikian kaku? Artinya, strategi yang dipakai untuk mengatasi masalah, terbatas itu-itu lagi, padahal situasinya jelas berbeda.”

Perlu diketahui, kemandirian bukan sekadar bayangan bahwa pada usia tertentu si anak bisa ini dan itu. Yang lebih mendasar justru rasa aman buat dirinya sendiri untuk mencoba berbuat sesuatu. “Bukan tak mungkin, lo, anak yang terbiasa tergantung sepenuhnya pada orang tua, sampai dewasa pun tak pernah berani mencoba naik angkutan umum. Termasuk taksi atau pesawat yang nyaman sekalipun.”

Yang pasti, fleksibilitas atau kemampuan menyesuaikan diri juga mesti diasah sejak kecil. Minimal, si ibu yang kelewat ideal tadi diharapkan bisa menempatkan diri untuk “menurunkan standar”nya. Semisal, saat liburan atau jauh dari rumah yang tak memungkinkannya mendapatkan hal-hal yang rutin ada di rumahnya selama ini. Sebab anak yang dijadwalkan kelewat ketat, contohnya, bisa-bisa malah gampang jatuh sakit. “Soalnya, anak yang terbiasa hidup kelewat sehat, besar kemungkinan ambang terhadap gangguan kesehatannya pun jadi rendah. Masalahnya, tubuhnya tak terlatih menerima masukan-masukan yang tak termasuk kategori sehat tadi.”

MERASA JADI PAHLAWAN

Dampak buruk tak hanya pada anak. Soalnya, si orang tua akan memaksa diri tampil menjadi orang tua yang baik sesuai gambaran idealnya. Akibatnya, ia jadi tegang dan tak lagi mampu menikmati perannya sebagai orang tua. Alhasil, anak jadi merasa tak nyaman karena ibu/bapaknya jadi mudah marah atau terbiasa melampiaskan ketidakpuasannya pada orang-orang yang relatif lebih “tak berdaya” seperti pembantu.

Sebaliknya, tak sedikit pula yang kemudian justru merasa jadi superhero alias pahlawan sejati bagi anak sekaligus keluarganya. Karena lewat perannya, dia merasa amat dibutuhkan dan ia amat menikmatinya. “Biasanya, ibu yang memainkan peran ini merupakan sosok istri yang karena berbagai alasan atau bentukan lingkungan, tak melibatkan suami dalam soal pengasuhan anak.” Nah, karena “beban” berat itu, bisa-bisa ia jadi tertekan. Soalnya, kalau sampai gagal, semua kesalahan bakal ditimpakan padanya, kan?

Bahkan, meski tak bikin kesalahan pun, masyarakat akan cenderung menyalahkannya. Semisal, “Ibunya ngapain aja, sih?” Nah, kekhawatiran akan kegagalan seperti itulah yang mendorong si ibu memacu diri sedemikian ketat agar anaknya memenuhi gambaran ideal. Sedangkan jika anaknya bisa tampil sehat, pintar, dan memenuhi sederet kriteria gambaran ideal, dia bakal menemukan kebahagiaan tak terhingga.

Alhasil, harga diri si ibu jadi tergantung penuh pada “keberhasilan” si anak. Meski orientasinya terkesan materialistis karena diukur dengan hal-hal keduniawian. Padahal, ideal-ideal yang ditawarkan kerap membohongi. “Makanya, sebaiknya senantiasa pertanyakan, apakah nilai-nilai ideal tadi memang yang terbaik untuk anaknya, sesuai kebutuhan anak. Yang pasti, bukan yang terbaik menurut kacamatanya sebagai orang tua. Kalau tidak, jika si anak tak memenuhi gambaran idealnya, si ibu merasa gagal sebagai orang tua.”

Jangan Pernah Bohongi Anak

Menerapkan larangan, tak ada salahnya. Tapi, tegas Iin, akan lebih tepat jika kontrolnya ditanamkan/ditumbuhkan dalam diri anak. Dengan begitu, anak membuat keputusan sendiri karena ada alasan jelas dan bukan semata-mata karena larangan yang membabi buta.

Tak perlu pula membohongi anak bila ingin melarang anak makan makanan tertentu. “Jangan, itu, kan, makanan tikus,” misal. Pada prinsipnya, anak tak bisa dibohongi. “Kalaupun bisa,paling cuma berfungsi sebentar karena anak pasti mendapat informasi dari teman-teman.” Lebih celaka, kan, kalau ia dapat info yang beda? “Kok, temanku boleh makan permen itu?” contohnya.

Apalagi, orang tua takkan pernah bisa mengawasi anak sepanjang waktu. Terlebih saat anak makin besar sementara godaannya pun kian beragam.

Harus Bisa Tegas

Bagi lingkungannya, ujar Iin, individu yang kelewat ideal semacam ini kerap sangat menyebalkan. Semisal saat menitipkan anak di rumah kerabat, pasti ada sederet tuntutan aturan yang mesti tetap diberlakukan. Sementara anak-anak itu sendiri umumnya termasuk tipe anak sulit karena sudah terbiasa hidup dalam aturan dan kemudahan yang diberlakukan di rumahnya.

Menghadapinya, harus bisa bersikap apa adanya. Misal, katakan secara tegas, “Di rumah saya enggak bisa seperti itu. Untuk hari ini, menu kami ini dan saya tak punya waktu lagi untuk belanja kebutuhan anak-anakmu ke supermarket. Kalau mau, ya, silakan bawa makanan sendiri dari rumah.”

Lain cerita jika bilang jauh-jauh hari hingga bisa diatur. Tapi, biasanya, kan, menitipkan anak bersifat dadakan, tanpa rencana. Yang jelas, orang semacam ini umumnya tak bisa begitu saja menerima kenyataan yang tak sesuai dengan gambaran-gambaran idealnya hingga kerap muncul keributan. Nah, daripada ribut, “Lebih baik jaga jarak saja, deh, dengan orang-orang kelewat ideal.”

Masalah juga akan muncul bila yang dititipi tak kompak dengan jalan pemikiran si individu ideal tadi. Soalnya, proses pembentukan disiplin anak akan hancur. Anak akan cari-cari kesempatan alias mengembangkan sikap manipulatif. Misal, minta es krim padahal di rumah dilarang keras. “Anak kalau terbiasa kelewat ketat, saat lepas kontrol akan merasa amat merdeka. Beda sekali situasinya bila pada anak ditumbuhkan kontrol dari dirinya sendiri.”

Tergantung Kepribadian

Menurut Iin, anak justru perlu sesekali diberi kesempatan untuk merasakan sesuatu yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dari rutinitasnya sehari-hari. Minimal, agar ia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda. Ia pun harus mendapat kesempatan untuk mencoba berbagai hal karena tak selamanya ia akan tinggal di bawah ketiak orang tua yang memberi semua fasilitas baginya. Suatu saat dia harus bisa mandiri dan keluar dari keluarga asalnya.

Apakah si anak akan menikmati atau tidak menjalani rutinitas yang serba teratur/kelewat ideal tadi, amat tergantung pada tipe kepribadian si anak. Anak yang cenderung spontan dan dinamis, tentu akan cenderung berontak jika diatur begini-begitu. Beda dengan anak penurut, yang umumnya tak punya semangat untuk mencoba hal-hal baru. Ia akan bingung dan tak memiliki rasa aman begitu memasuki lingkungan baru yang serba berbeda. Sementara bagi anak yang dinamis, hal yang sama justru dianggapnya sebagai kesempatan emas yang membuatnya tertantang.

Th. Puspayanti/tabloi nakita/Rubrik Problema/edisi 169 /29 Juli 2002

LAMA PACARAN? BUKAN JAMINAN KOK!

9 Mar


Tak perlu menyesali diri kala perkawinan kita hanya bertahan seumur jagung. Cobalah kaji kembali, apa saja kesalahan yang kita lakukan sebelum memutuskan untuk menikah.

Belakangan kian sering terdengar kisah-kisah rumah tangga yang hanya bertahan seumur jagung. Padahal, tak sedikit di antara mereka yang sudah menjalani masa pacaran sekian lama. Tapi seperti diutarakan psikolog Zainoel Biran alias Bang Noel, lama-sebentarnya masa pacaran, sama sekali tak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan atau kegagalan perkawinan. “Yang lebih penting, justru seberapa efektif kedua belah pihak menghayati pacaran sebagai masa untuk mencoba saling mengenal lebih baik secara person to person.”

Dengan kata lain, kita tak cuma kenal pasangan sebagai pribadi secara lahiriah, tapi juga peran-peran yang bisa dimainkan oleh kedua belah pihak. “Jadi, ada semacam pengharapan. Sementara bagaimana pengharapan itu bisa tersampaikan dan menjadi kesepakatan bersama, merupakan proses panjang yang harus dipelajari terus menerus,” ungkapnya.

Harapan-harapan tersebut mungkin saja tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Toh, dalam hubungan suami-istri, “Pasti akan ada perbedaan-perbedaan yang bakal muncul. Itulah yang mesti senantiasa dijembatani. Bisakah perbedaan-perbedaan tadi dipertautkan bahkan diterima, hingga tidak menjadi batu sandungan bagi mereka. Sementara untuk menghilangkannya jelas mustahil, dong.” Dengan begitu, harus dipilah-pilah, apakah perbedaan tersebut esensial atau tidak.

CUMA BERUBAH SESAAT

Soal selera dan kebiasaan makan, contohnya. Yang satu terlihat lahap menggunakan tangan sementara lainnya justru jijik namun hanya memendamnya karena tak ingin menyinggung perasaan pasangan. Padahal, apa pun bentuk penilaian tersebut, kata Bang Noel, tetap harus dikemukakan. Tentu saja bukan dengan sikap atau kalimat kasar. “Sampaikan bahwa kita tidak suka dengan cara makannya dan bukan pribadinya. Toh, kalau cuma cara makan barangkali bisa diperbaiki. Sementara pihak yang dikritik pun sah-sah saja mempertanyakan, ‘Kenapa, sih, diributin, dari dulu aku, kan, makannya begini.'”

Namun kalau ingin membangun relasi, tetap dibutuhkan kesediaan untuk saling menyesuaikan diri. Termasuk kesediaan belajar makan secara santun dengan tidak berbunyi atau menghilangkan hal-hal lain yang dirasa menjijikkan pasangan tadi. “Bisa jadi juga, berubah cuma sesaat demi menyenangkan pacar. Begitu sudah kawin, kembali ke aslinya.”

Seharusnya, lanjut Bang Noel, penyesuaian diri kedua belah pihak bukan sesuatu yang bersifat sesaat untuk memikat atau mendapatkan cinta pasangan. “Justru harus dipertanyakan niat yang bersangkutan. Mau sekadar dapat perhatian cinta atau mempertahankan sekaligus melanjutkan hubungan lebih jauh?”

TANGGALKAN TOPENG

Banyak, memang, pasangan yang gagal menjaga keutuhan rumah tangga meski sudah pacaran lama. Sehingga timbul pertanyaan, “Jadi, selama itu mereka ngapain aja?” Jawabannya, mungkin mereka hanya sibuk bicara yang “manis-manis” saja alias yang ada di permukaan. Sementara untuk hal-hal yang bersifat mendalam, justru enggan digali lebih jauh.

Alasannya, kalau bicara masalah yang tak enak, jangan-jangan malah ditolak. Jadilah mereka terbiasa mengenakan topeng-topeng untuk membangun impresi. Lantas kapan seseorang boleh pakai topeng dan kapan harus melepaskannya? Lagi-lagi,tegas Bang Noel, tergantung pada orientasi dan makna yang diberikan individu yang terlibat. Apakah sebatas jalan dan omong-omong kosong belaka atau mengharapkan ikatan lebih mendalam di antara mereka. Bukan tidak mungkin pula sebatas menuruti desakan dari lingkungan karena takut dianggap bujang lapuk atau orang tua yang ingin segera menimang cucu, misalnya.

Selama seseorang mengenakan topeng, berarti selama itu pula ia belum memiliki kepercayaan pada pasangan. Di hati kecilnya pasti terselip kekhawatiran, suatu saat bakal dikecewakan atau tak diterima sepenuhnya. Padahal, kebiasaan mengenakan topeng membuat kita jadi tidak cukup sensitif untuk mengenal pasangan. Bisa juga karena niatnya memang tidak tulus untuk membangun suatu relasi. Semisal niat untukmorotin, ajang balas dendam, mencari popularitas yang bisa memberinya kebanggaan tersendiri atau motivasi lainnya.

Kendati harus diakui jika tiap orang memiliki kecenderungan untuk menutupi kelemahannya dengan selalu menjaga impresi yang serba baik dan positif lewat penggunaan topeng-topeng tadi. Bukankah dengan membangun kesan positif, yang bersangkutan akan lebih mudah dipercaya orang lain?

Karena itulah, saran Bang Noel, amat penting bagi siapa pun untuk menguji seberapa jauh ia benar-benar mengenal pasangan sebelum mengambil keputusan untuk menikah. “Dia benar-benar seperti dia sekarang ini atau tidak?” Caranya bisa berupa feedback dari orang-orang yang mengenalnya ataupun melalui kejadian sehari-hari. “Suatu saat pasti ada, kok, momen-momen khusus ia lepas dari topengnya.”

KUALITAS PENGENALAN

Selain itu, boleh jadi selama tenggang waktu pacaran yang lama tadi memang tidak terpikirkan niat untuk berumah tangga. Kalaupun mereka akhirnya menikah, misalnya, itu lebih karena suatu saat terbetik pikiran, “Kayaknya kita sudah lama pacaran, nih.” Hingga motivasi mereka berumah tangga tak lain keterpaksaan akibat terbebani oleh lamanya hubungan tadi atau alasan lain. Yang jelas, bukan lantaran ingin membangun hubungan yang langgeng.

Menurut Bang Noel, bagi banyak orang pembicaraan tentang perkawinan kerap dianggap cukup menakutkan, hingga sedapat mungkin dihindari. Padahal, seharusnya tetap dipikirkan bahwa pacaran merupakan tahapan yang berkesinambungan. Artinya, tahap yang satu harus diikuti oleh tahap lain yang lebih intens.

Sementara di tahap ini masing-masing pihak dituntut untuk berpikir berdua bagi kepentingan mereka sebagai tim yang terikat. Termasuk evaluasi sampai sejauh mana hubungan mereka, apa tujuan mereka dan bisakah tujuan tersebut dicapai dengan kondisi masing-masing.

Dari pembicaraan semacam ini akan semakin terkumpul masukan-masukan yang senantiasa baru guna menambah kualitas pengenalan masing-masing pihak terhadap pasangan. Tentu saja untuk bisa masuk ke tahap demi tahap secara intens, keterbukaan/kejujuran jelas amat dituntut. Bukan cuma hal-hal yang menyenangkan, tapi juga hal-hal menyedihkan/menakutkan mesti sudah harus berani diungkap sekaligus dibicarakan sebelum perkawinan.

Selama pacaran inilah, tegas Bang Noel, pentingnya mulai menumbuhkam kesediaan berbagi. Hingga ketika kita tahu pasangan bersedih saat membicarakan hal-hal tertentu, paling tidak kita akan berusaha menjaga tindakan dan pembicaraan agar tidak membuatnya sedih. Bukankah orang yang mencintai pasangan akan selalu mengutamakan kebahagiaan pasangannya dan kebahagiaan bersama?

MODAL KEPERCAYAAN

Dengan demikian, tandas Bang Noel, mereka yang telah sekian lama pacaran namun perkawinannya bubar hanya dalam waktu singkat, boleh dibilang tidak melalui proses belajar yang semestinya. Semisal hanya sebatas aktivitas dari sisi-sisi yang menyenangkan. Gaul di kafe atau menikmati bentuk kehidupan tertentu yang dirasa serba pas/sejalan, contohnya. “Padahal, itu, kan, baru sebagian kecil dari lapis demi lapis lain yang mesti dilalui.”

Untuk bisa ber-sharing hal-hal yang menyedihkan, misalnya, dibutuhkan kepercayaan dan kedekatan emosional tertentu. Konkretnya, orang, kan, enggak mungkin beranicurhat pada orang lain yang tidak dipercayainya. Nah, selama masa pacaran itulah kedua belah pihak diharapkan bisa mengembangkan rasa percaya kepada pasangannya.

Rasa percaya baru akan tumbuh kalau ada konsistensi dan kesediaan untuk mendengar. Dengan begitu, bila seseorang sudah membuka diri namun pasangannya ternyata tidak bisa dipercaya, yang bersangkutan akan merasa dimanipulasi.

Sayangnya, tutur Bang Noel,tiap individu cenderung mengalami cinta buta akibat terkena halo efect. Artinya, saat tengah jatuh cinta, semua jadi terlihat indah yang membuatnya kerap berpikir pendek dan emosional. Sementara masukan dari orang lain mengenai keburukan pasangan selalu ditanggapi secara negatif. Semisal, “Ah, sirik aja, lu!”

Tak heran kalau objektivitas dan sisi-sisi penting yang perlu diketahui mengenai pasangan jadi terlewatkan. Hal-hal semacam inilah yang kemudian membuat orang tidak mencoba mengenali pasangannya lebih jauh alias cukup puas dengan hal-hal bersifat lahiriah/di permukaan saja.

Jalani & Nikmati Kebersamaan

Pada dasarnya, kata Bang Noel, tidak ada patokan baku mengenai berapa lama sebaiknya tiap pasangan melalui masa pacaran. Yang pasti, selama masa pacaran dan juga sepanjang perkawinan, kedua belah pihak harus menemukan dan menjalani hal-hal baru secara bersama-sama. Konkretnya, bersama-sama menikmati proses yang membuat mereka jadi kaya secara emosional karena bersama-sama membangun suatu dunia yang membuat mereka fit in.

Bukan yang satu memaksa yang lain masuk ke dalam dunianya. Serta bukan pula menenggelamkan diri ke dalam dunia pasangannya sedemikian rupa secara total sampai kehilangan keakuannya. Bila ini yang terjadi, dunia perkawinan menjadi dunia yang serba membingungkan bagi kedua belah pihak dan membuat mereka merasa tidak mampu bertahan.

Hargai Privacy Pasangan

Kalau kita bisa mengenal masa lalunya, ungkap Bang Noel, berarti kita lebih mengenalnya secara utuh. “Kendati jika pasangan tak mau membuka diri, ya, kita sama sekali tak boleh memaksanya. Sebagian orang justru ingin melupakan dan memendam masa lalunya. Soalnya, kalau hal-hal di masa lalu tadi diangkat lagi ke permukaan, baginya akan kembali terasa menyakitkan.”

Dengan begitu, sambungnya, kita harus menghargai privacy dan keputusan pasangan untuk menyimpan rahasia pribadinya. “Biarkan semuanya berjalan secara alamiah alias jangan pernah berusaha mengorek keterbukaan pasangan dengan segala macam cara. Toh, kalau hubungan sudah diwarnai oleh kepercayaan, kesediaan untuk membuka diri akan muncul dengan sendirinya.”

Waspadai Yang Terbiasa Berkelit

Terhadap pasangan yang selalu bersikap defensif dan terbiasa berkelit, tegas Bang Noel, kita harus berani mempertanyakan kelanjutan hubungan. Jangan sampai dibebani rasa malu hanya karena setelah sekian lama bersama.

Soalnya, sentra orang seperti ini tak lain adalah dirinya sendiri dan bukan pasangannya. Biasanya mereka tidak mau menghadapi kenyataan. “Jadi, alih-alih mau mengakui kesalahan diri, mereka malah lebih suka mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam hal ini kesalahan pasangannya.”

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Problema/edisi 160/27 April  2002

BOSAN PADA PASANGAN? CERMATI PENYEBABNYA!

9 Mar


Bosan pada pasangan bisa muncul kapan saja dalam kehidupan berumah tangga. Tapi tidak berarti biduk perkawinan mesti kandas karenanya.

Tak perlu kelewat menyalahkan diri maupun pasangan bila suatu saat kebosanan pada suami/istri terasa mencekik. Yang lebih penting, tegas konsultan perkawinan Dr. Joanes Riberu, justru bagaimana mengupayakan agar kebosanan tersebut tak berakibat fatal. Semisal, membuat perkawinan kandas atau menjadikan keluarga sebagai ajang perang dingin suami istri yang saling mengenakan topeng.

Menurut Administrator Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen ini, seperti halnya tiap gejala sosial, pasti ada masalah di balik kebosanan tadi. Hingga langkah awal untuk mengatasinya tak lain dengan menelusuri apa yang menjadi penyebab munculnya kebosanan tersebut. Yang paling kerap dituding sebagai penyebab kebosanan adalah menurunnya atau malah hilangnya daya tarik secara fisik. Memang, sih, bilangnya, tak bisa dipungkiri hubungan dua insan berlainan jenis amat ditentukan oleh ketertarikan satu sama lain secara fisik.

Padahal, “Enggak sedikit, kan, mereka yang begitu memasuki perkawinan atau setelah punya anak, tak lagi merawat dan menjaga penampilan tubuhnya. Atau hanya berdandan rapi saat ke luar rumah, sementara di rumah justru tampil apa adanya. Jangan heran kalau daya tariknya di mata pasangan pun jadi menurun.” Itulah mengapa, untuk kasus-kasus semacam ini, saran Riberu, kedua belah pihak harus menjaga hal-hal fisik yang menjadi daya tarik bagi pasangannya. Secara lebih khusus, zona erogen pada bagian-bagian tubuh tertentu yang dapat menimbulkan gairah seksual pasangannya. Hingga kalau kebosanan betul-betul sudah dirasa mencekik, ketertarikan secara fisik perlu diangkat sedemikian rupa. Dengan berdandan, misalnya, asalkan jangan berlebihan.

PENDANGKALAN MAKNA PERKAWINAN

Padahal, tandas Riberu, dari berbagai penelitian terbukti bahwa yang mempersatukan dua individu sebagai suami-istri bukan ketertarikan fisik belaka. Melainkan kesamaan paham, terutama paham tentang perkawinan itu sendiri. Buat mereka yang semata-mata menikah dengan kepentingan seksual belaka, contohnya, akan lebih mudah menyerah kala kebosanan melanda. Ribut sedikit saja langsung menggugat cerai karena beranggapan, “Ngapain mesti repot-repot?”

Pendangkalan makna perkawinan yang terkait dengan nilai-nilai spiritual/keagamaan juga bisa menjadi penyebab munculnya kebosanan. Seorang istri yang sangat taat beragama, contohnya, tentu akan jengkel, kecewa dan akhirnya bosan pada suaminya yang bersikap masa bodoh terhadap kehidupan beragama. Dengan begitu, bila ikatan perkawinan diyakini sebagai sesuatu yang suci, apa pun biasanya akan dicarikan jalan agar perkawinan bisa dipelihara kelangsungannya.

Melonggarnya ikatan/komitmen di antara suami-istri pun membuat nilai-nilai keagamaan tentang perkawinan mulai diabaikan banyak pasangan. Hingga ketika berada di luar rumah/jauh dari keluarga, mereka menganggap dirinya tidak lagi terikat pada suami/istrinya. Padahal, begitu melangkahkan kaki ke luar rumah, begitu banyak pria/wanita yang bisa jauh lebih menarik ketimbang penampilan fisik istri/suaminya di rumah. Lemahnya komitmen ini, tandas Riberu, membuat kadar kebosanan individu yang bersangkutan pada pasangannya jadi meningkat.

Tak heran kalau belakangan seolah muncul semacam trend perkawinan yang terpaksa bubar meski baru seumur jagung. Kecenderungan mencari jalan pintas pun jadi meningkat. Saat bosan pada pasangan lantas segera cari selingkuhan sebagai “hiburan”, bukan mengupayakan bagaimana mengatasi kebosanan yang mengancam keutuhan perkawinannya. Buat mereka, jalan keluar yang tampak paling mudah adalah bercerai, padahal belum tentu demikian. Kalaupun tidak bercerai, mereka akan jalan sendiri-sendiri mencari “kebahagiaan” menurut standar masing-masing. Hingga kendati ada istri/suami di rumah, ada pula “istri” atau “suami” di tempat lain. Larangan-larangan yang semula memagari hubungan mereka, kini justru dilanggar.

Sebaliknya, mereka yang meyakini perkawinan sebagai sarana untuk membahagiakan pasangan, hingga ingin sehidup semati bersama suami/istri, umumnya juga lebih mampu bertahan kala kebosanan melanda. Sekalipun muncul hal-hal yang menggoyahkan, mereka akan mengupayakannya untuk tetap terus bersama demi kebaikan bersama pula.

TANGGALKAN TOPENG KEPALSUAN

Menurut Riberu, yang jauh lebih potensial menyebabkan munculnya kebosanan di antara suami-istri sebetulnya justru sebab-sebab psikologis. Yakni saat orang mulai merasa tidak puas pada ciri-ciri pribadi pasangannya. Yang semula dianggap ramah, contohnya, ternyata dalam kehidupan sehari-hari tidak seramah dulu. Sementara yang sewaktu pacaran dinilai komunikatif, kini ternyata sangat tertutup atau malah terkesan “cerewet”.

Ketidaksesuaian-ketidaksesuaian dengan harapan itulah yang memunculkan kekecewaan, hingga tercetus, “Ternyata aku salah pilih.” Padahal secara psikologis, kekecewaan pastilah menyesakkan. Tak heran bila orang yang merasa dikecewakan akan menunjukkan sikap dingin terhadap orang yang mengecewakannya. Di lain pihak, kekecewaan ini akan bertumpuk kalau ditambah masalah lain. Seorang istri yang merasa tidak puas/tidak cocok dengan sifat suaminya, misalnya, punya alasan untuk semakin tidak tertarik alias merasa bosan.

Belum lagi kecenderungan menggunakan topeng selagi masa pacaran agar tidak terlihat kekurangan/keburukannya. Seharusnya, anjur Riberu, topeng-topeng kepalsuan tadi mulai ditanggalkan sesudah mulai akrab. Tentu saja tak perlu langsung berterus terang mengatakan si dia adalah pacar ke-10 yang hanya akan membuatnya mundur. Menurut Riberu, salah satu unsur pengikat yang menentukan langgeng atau tidaknya perkawinan bukanlah usia perkawinan itu sendiri atau lamanya proses pacaran, melainkan kesediaan masing-masing pihak untuk membuka diri sejujur-jujurnya terhadap pasangan.

Jadi, sarannya, carilah selalu kesempatan untuk berbincang dari hati ke hati dengan pasangan. Jangan cuma terpaku pada obrolan seputar politik atau soal banjir yang melanda Jakarta. Melainkan berani mengungkapkan hal-hal yang justru paling tidak mengenakkan. Semisal, “Dulu waktu SD, aku murid paling bodoh, lo.” Keberanian membeberkan pengalaman pahit yang tidak ingin diketahui umum itu justru menandakan bahwa Anda mempercayakan diri pada pasangan. Nah, pasangan yang merasa diistimewakan lantaran beroleh kepercayaan tadi tentu akan menghormati dan menjaga kepercayaan tersebut.

TERJEBAK CINTA BUTA

Hanya saja, tegas Riberu, tak ada yang pernah bisa menduga kapan kebosanan melanda pasangan suami-istri. Artinya, bisa saja pasangan yang telah menikah sekian puluh tahun didera kebosanan. Sementara pasangan yang baru menikah pun bukan tidak mungkin menghadapi hal serupa. Jika, kebosanan memang tak bisa terhindarkan, sarannya, jangan lupa untuk mawas diri. Dalam arti, jangan cepat-cepat menyalahkan pasangan karena bisa jadi penyebabnya justru bersumber pada diri kita sendiri.

Semisal peningkatan karier yang melesat tajam, sementara pasangan diam di tempat alias ketinggalan kereta. Padahal peningkatan karier tentu menuntut waktu dan tanggung jawab yang lebih besar. Hingga bisa saja pasangan merasa kecil dan terabaikan. Di mata istri/suami yang kariernya melesat tadi, nilai si istri/suami pun jadi jatuh karena dianggap tidak begitu berpengetahuan dan gengsi sosialnya tidak sama tinggi lagi dengan dirinya. Meski awalnya hal-hal tadi tak menimbulkan masalah, kini justru dirasa bakal menghambat laju kariernya.

Itulah mengapa, bilang Riberu, bibit perbedaan-perbedaan semacam itu sering dikhawatirkan banyak pihak sebagai bentuk dari cinta buta. Sewaktu cinta masih membara, persoalan semacam itu biasanya tak mau dibicarakan secara terbuka. Bahkan kerap dianggap sebelah mata atau malah sengaja ditutup-tutupi. Seharusnya, tegas Riberu, hal-hal yang dirasa bakal menjadi ganjalan sejak awal sudah harus dibicarakan Semisal perbedaan agama, latar belakang sosial ekonomi maupun pendidikan. “Bukan karena diskriminasi, lo, tapi meminimalkan peluang terjadinya jurang perbedaan tadi.”

BINA KEAKRABAN PSIKOLOGIS

Kendati begitu Riberu yakin, andaikan keakraban psikologis antara suami-istri tetap terjaga, segencar apa pun godaan di luar, kebosanan bisa diminimalisir. Kalaupun kebosanan dipicu oleh aspek psikologis, semisal kejengkelan/kemarahan, hendaknya jangan ditekan ke bawah sadar. Bukankah kemarahan yang dipendam tetap tidak menghilangkan kemarahan tersebut? Kita justru harus membiasakan diri untuk mengendalikan emosi. “Tapi bukan lantas meledak-ledak yang hanya membuat suasana jadi lebih buruk.”

Sayangnya, saat istri/suami bosan pada pasangannya, yang sering terjadi si pasangan justru salah memberi reaksi yang membuat suami/istrinya jadi lebih bosan. Entah sekadar menyalahkan diri dan menganggap kebosanan pasangan sebagai suratan nasib. Padahal tanggapan tak menyenangkan dari pasangan akan membuat kekecewaan makin bertumpuk yang berujung pada terakumulasinya kebosanan itu sendiri. Hingga salah satu kata kunci dalam perkawinan yang baik adalah komunikasi timbal balik dan bukan satu arah, lo.

Sedangkan untuk mengantisipasinya, kata Riberu, antara lain variatio dilectat atau “variasi itu menyenangkan”. Artinya, supaya jangan bosan, kedua belah pihak harus mengupayakan hidup perkawinan mereka bervariasi. Semisal dengan menyempatkan piknik atau makan di luar bersama pasangan sekali waktu. Jangan ragu untuk “ambil risiko” mengubah rutinitas aktivitas sehari-hari ataupun mencari variasi posisi dalam berhubungan intim. Selain tentu saja, singkirkan pula kekhawatiran bakal terbebani oleh rasa bosan itu sendiri.

Waspadai Usia Rawan

Benarkah ada usia-usia rawan dalam perkawinan yang berpeluang mengundang kebosanan? “Diduga, ya, karena di usia-usia rawan itulah, suami istri tengah saling belajar menyesuaikan diri,” jelas Riberu. Yang termasuk usia rawan adalah 3 atau 5 tahun. Selewat itu mereka diharapkan sudah saling bisa menyesuaikan diri dan bisa mengatasi ketegangan yang mulai banyak bermunculan. Kendati begitu bukan berarti segalanya lantas beres karena persoalan demi persoalan akan datang silih berganti. Semisal masalah anak, peningkatan karier, dan sebagainya.

Jangan Sebatas Cinta Platonis

Untuk menghindari kejenuhan, tegas Riberu, suami istri harus belajar “membaca” kebutuhan pasangan. Hingga sebelum pasangan memintanya, suami/istri sudah mendahului memberikannya. “Ingat, lo, meminta itu berarti menurunkan harga diri.” Itulah mengapa banyak orang enggan meminta meski sebetulnya dia membutuhkan sesuatu dari pasangannya. Tak cuma itu, porsi perhatian yang kurang pun kerap dijadikan pertanda munculnya kebosanan. Padahal minimnya ungkapan perhatian bukan lantaran kita bosan. Karena tidak sedikit pasangan yang enggan berbasa-basi semacam itu semata-mata karena mereka sudah menjadi suami-istri.

Itu sebab, sarannya, jangan hanya sebatas platonis. Melainkan nyatakan perhatian dan kasih sayang kita dari hal-hal kecil. Semisal, “Masakan Mama enak.” Bukankah itu merupakan penghargaan sekaligus ucapan terima kasih atas usahanya? Begitu juga istri terhadap suami. Dengan mengambilkan segelas air minum, contohnya, tak perlu merasa diri menjadi pelayan suami. Sebab, “Ikatan perkawinan semestinya saling membahagiakan. Kalau dengan memberikan segelas kopi susu kesukaannya bisa membahagiakan, pasangan juga merasa bahagia.” Jadi, meski ngantuk, tapi kalau suami/istri minta ditemani nonton serial kesayangannya, mengapa tidak? Apalagi cinta justru akan teruji dalam pengorbanan.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Problema/edisi 154/16 Maret 2002

TAK PERLU BEDA-BEDAKAN SI UPIK & SI BUYUNG

9 Mar


Sering, kan, Bu-Pak, kita membeda-bedakan perlakuan hanya lantaran jenis kelamin anak yang tak sama? Padahal, kemampuan mereka sama-sama bisa berkembang optimal, lo.

“Ayo, stop! Jangan cengeng! Masa anak laki-laki cengeng?” Itu, kan, biasanya yang kita katakan pada si Buyung jika ia menangis? Giliran adik/kakaknya menangis, perlakuan kita lain karena “kebetulan” sang kakak/adik berjenis kelamin perempuan.

Padahal, seperti dijelaskan psikolog Rahmitha P. Soendjojo, perbedaan perlakuan pada anak berdasarkangender, sebetulnya terpulang dari seberapa banyak informasi yang dimiliki orang tua tentang proses tumbuh-kembang anak.

Artinya, bisa jadi si ibu/ayah bersikap begitu gara-gara keterbatasan informasi. Misalnya, dulu ia besar dalam keluarga bertipe feodal di mana lelaki selalu diistimewakan dalam segala hal. “Kalau budaya semacam itu terus dibawa, secara tak sadar sebetulnya orang tua sudah menanamkan nilai-nilai sempit yang pada gilirannya bakal mencetak anak-anak pengekor. Yakni, individu yang merasa betah dalam kungkungan budaya yang sebetulnya merugikan.”

KIRI KANAN BISA DIKEMBANGKAN

Memang, kata Mitha, mungkin saja akan ada benturan dari lingkungan/masyarakat jika kita memutuskan “keluar” dari mitos-mitos warisan budaya feodal tadi. Misalnya, diprotes orang tua. “Kamu ini bagaimana, masa si Anto disuruh menyapu? Itu, kan, pekerjaan perempuan?” Kalau itu yang terjadi, “Tak usah bersikap frontal,” saran psikolog dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) ini. “Cukup beri alasan, kenapa kita melanggar mitos-mitos itu. Misalnya, ‘Lo, kami memang mengajarkan, menjaga kebersihan dan kerapian rumah bukan cuma tugas pembantu atau siapa pun yang kebetulan perempuan.’ Malah dengan begitu, anak laki-laki jadi cekatan menyapu, merapikan kamar, dan lainnya.”

Karena itu, saran Mitha lebih lanjut, “Tak perlu terpaku pada anggapan yang mengkotak-kotakkan individu hanya berdasar jenis kelaminnya. Umpamanya, perempuan harus halus, lebih perhatian, dan seterusnya. Pendeknya, otak bagian kanannya yang berkembang. Sedangkan pada anak laki-laki, sebaliknya. Padahal, secara umum kita bisa, kok, mengembangkan baik otak kiri dan kanan, pada anak lelaki juga perempuan.”

Sebab, lanjut Mitha, sifat-sifat tertentu semisal halus/lemah lembut ataupun pemberani, sebetulnya tidak identik dengan gender tertentu. Melainkan lebih pada pembiasaan-pembiasaan yang menempa anak. Dengan demikian, kondisi-kondisi kemampuan apa pun pada anak laki maupun perempuan, sebetulnya sama-sama bisa dikembangkan. “Matematika anak perempuan bagus, kenapa tidak? Anak laki-laki terampil bebenah di rumah, mengapa harus dihambat dengan segudang larangan?”

MENGGUGAH MINAT

Agar tak terjebak pada mitos-mitos yang merugikan semacam itu, terang Mitha, mau tidak mau orang tua harus membuka diri. Dalam arti, mau membuka wawasan dan menerima informasi sebanyak mungkin, “Termasuk memiliki motivasi untuk menerapkannya.” Bukankah ketika mendapat informasi dan penjelasan gamblang, “Oh, ternyata anak laki boleh menangis, kok, dan anak perempuan tak mesti tulisannya bagus”, kita akan semakin terpanggil untuk berpikir lebih jauh.

Dengan begitu, kita pun lebih mampu bersikap toleran sekaligus memperluas/menggugah minat anak bereksplorasi. Kala anak perempuan getol bongkar pasang/utak-atik mobil-mobilannya, jangan pernah menghalanginya. Saat anak laki kedapatan sedang menyapu atau menyiangi sayuran, tak perlu lagi berteriak melarangnya. “Eh… jangan!”, hanya lantaran itu pekerjaan si Mbak atau si Bibi yang notabene perempuan.

Selain itu, terang Mitha, selalu beri kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan apa saja pada anak tanpa membedakan gender. Singkirkan pula sikap kelewat melindungi pada anak hanya karena dia wanita, misalnya. Seperti, “Aduh, Dek, enggak usah, deh. Biar saja nanti Mas yang bawain atau selesaikan.” Dengan begitu, dalam diri tiap anak tetap harus ditumbuhkan sikap/kesediaan saling melindungi/membantu, tanpa harus mengalihtugaskan hal yang sama ke saudaranya. Dengan kata lain, kita tidak perlu meringankan yang satu namun membebani yang lainnya.

Apa pun, anak perempuan harus punya pengalaman menangani/menyelesaikan pekerjaan yang “berat”. Jangan sampai terucap, “Biar Mas yang bawa, Adek pegang ini aja.” Akan lebih baik bila mereka dilibatkan secara bersama. Manfaatnya, mereka belajar menjalin kerja sama sementara pekerjaan pun jadi terasa lebih ringan.

BERI CONTOH NYATA

Untuk bisa memberi kesempatan yang sama, tentu harus ada usaha dari orang tua. Jangan hanya berikan kegiatan “kasar” seperti memanjat, lari-larian, atau sejenisnya. Ajarkan juga cara melipat baju, merapikan tempat tidurnya atau meronce untuk mengembangkan kemampuan motorik halusnya. Dengan membiasakan hal-hal semacam itu, anak-anak laki akan bisa mengembangkan kemampuan motorik halusnya sejajar dengan kemampuan motorik kasarnya. Sebaliknya, izinkan pula anak perempuan bergelantungan memanjat pohon, ngebut naik sepeda atau mengejar-ngejar bola.

Untuk bisa memberi kesempatan yang sama pada anak tanpa membedakan jenis kelamin, pembiasaan harus dimulai dari atas. Artinya, di hari Minggu pun, bapak bersedia menyirami bunga, memasak, atau beres-beres rumah. Dengan begitu anak akan terbiasa melihat “pemandangan” tersebut sekaligus ingin menirunya karena ada contoh nyata.

Contoh langsung semacam itu, terang Mitha, akan lebih mengena diterapkan pada anak dibanding penjelasan panjang lebar yang cuma bikin anak bosan dan akhirnya ogah mendengar. Untuk menggugahnya agar mau menulis rapi/bagus, mengapa tak ditonjolkan pujian dan kelebihannya? “Bagus banget, ya, tulisan Kakak. Mama/Papa jadi bisa baca. Pasti nanti Kakak dapat bintang dari ibu guru di ‘sekolah’.”

Yang perlu diingat pula, kedepankan hal-hal konkret.Soalnya, buat anak, konsep “pintar” jelas tak dipahaminya karena kelewat mengawang-awang. Anak akan lebih cepat menangkap informasi positif tentang dirinya. Semisal, “Kata Mama aku pintar melipat.”, “Kata Papa tulisanku bagus.”, atau “Bu Guru bilang aku mewarnainya enggak keluar garis, lo.” Nilai-nilai konkret itulah yang mudah dicerna oleh anak yang akan mendorongnya mempertahankan sekaligus meningkatkan “prestasi”nya. Sebab, si anak merasakan sendiri bahwa aktivitas-aktivitas tersebut ternyata menyenangkan. Tuh, asyik, kan, punya anak laki-laki tekun dan anak perempuan “tegar”?

Asah Motorik Halus

Kerapian, kata Mitha, juga merupakan nilai yang perlu diajarkan karena sama sekali tak identik dengan jenis kelamin tertentu. Tentu saja, lagi-lagi, harus dibarengi dengan pembiasaan dan contoh konkret. Jika semua benda tertata dengan rapi, bisa dipastikan anak pun akan belajar mengenai hal ini. Kalaupun ia belum terbiasa, sikap cerewet justru membuat proses pembelajaran jadi tidak efektif. “Jadi, tak perlu banyak omong begini-begitu. Beri contoh konkret semisal selalu menaruh handuk di tempatnya setiap kali habis mandi, sambil menginformasikan apa dan bagaimana ia harus melaksanakan tugas tersebut.”

Perkuat pula pembelajaran itu saat anak melakukan kesalahan. umpamanya saat ia “heboh” mencari-cari mainan kesukaannya. “Kakak/adik, kalau kamu enggak rajin merapikan mainanmu, ya, seperti ini akibatnya.” Atau, “Kalau pensil warna Kakak taruh di tas, pasti enggak akan ketinggalan.” Teguran-teguran semacam itu tentu akan membuat anak menangkap dengan jelas, “O…supaya enggak terselip atau lupa, aku harus menaruh setiap benda di tempatnya.” Sebaliknya, kalau omelan yang berulang kali muncul, anak akan kesal, selain tak tergerak untuk belajar. “Ingat, lo, buat balita, rumah tetap harus dijadikan home base untuk menanamkan semua nilai keluarga.”

Demikian pula soal menulis halus, menurut Mitha, bukan karena yang bersangkutan perempuan atau laki-laki. Melainkan lebih karena kemampuan motorik halusnya yang terlatih. “Lihat saja orang tua zaman dulu. Mau perempuan atau laki-laki, tulisannya sama bagus dan ‘seragam’ miring ke kanan. Mengapa bisa begitu? Karena mereka memang di-drill untuk menulis halus seperti itu.”

Sementara dewasa ini, selain tak dilatih secara intensif, kondisi pun cenderung membentuk individu mencari gampangnya saja dalam banyak hal. Tak heran kalau tulisannya kerap tak terbaca. Padahal, mengasah kemampuan motorik halus ini tak selalu harus dengan memegang pensil, tapi juga bisa dengan beragam aktivitas. Semisal mengancingkan baju atau mengikatkan tali sepatunya sendiri. Selain menumbuhkan kemampuan membantu diri sendiri, kegiatan semacam ini bukan tanpa makna, lo.

Gali Informasi

Salah satu nilai yang perlu ditanamkan pada anak tanpa membedakan gender adalah ketekunan yang merupakan masalah disiplin. Bila tidak, anak akan berkembang jadi pribadi yang gemar mencari jalan pintas. Konkretnya, meski anak masih sulit memfokuskan diri pada satu kegiatan tertentu, ia tetap harus dikenalkan pada nilai ketekunan tadi. Seperti, “Aku harus merapikan mainanku yang ini sebelum aku main dengan mainan yang itu.”

Mengenalkan anak bahwa ia harus berdisiplin melakukan ini-itu sejak kecil, kata Mitha, sebetulnya amat penting agar ia tak bingung/pusing sekaligus bisa mengantisipasi apa kegiatan berikutnya. Anak rewel, contoh Mitha, sebetulnya lebih karena ia tidak diajarkan berdisiplin. Contohnya adalah bayi yang diberi ASI setiap 2-3 jam sekali. Meski ia belum tahu 2-3 jam itu seperti apa, tapi paling tidak ia bisa mengantisipasi, sebentar lagi ibunya akan datang menyusui. Kalau pola semacam itu selalu menjadi kenyataan, berarti ia belajar membina rasa percaya atau yang dinamakan kepercayaan dasar pada ibunya.

Begitu juga ketika anak bertambah besar. Anak yang dilepas begitu saja semaunya, besar kemungkinan justru akan bingung. Saat ia tengah asyik bermain, si ibu berteriak, “Adek, ayo bobo, ini sudah jam 12!” Alhasil, ia pun jadi rewel karena kenikmatannya distop mendadak. Sebaliknya, anak justru akan mudah mengantisipasi bila sejak awal dikenalkan dengan waktu: kapan bermain, makan, minum susu, dan kapan pula harus tidur. Jika ingin anak mengikuti jadwal secara ketat, awalnya cobalah mengingatkannya. Semisal, “Kak, ini sudah jam 11 lebih, lo, sebentar lagi tidur, ya.” Pembiasaan semacam ini, kata Mitha, akan mempermudah orang tua saat menanamkan disiplin dalam bentuk apa pun.

Tentu saja ketekunan dalam arti penuh, belum bisa diharapkan dari balita. Masalahnya, perhatian anak seusia ini masih gampang terpecah. Cara mengatasinya, bantu anak untuk lebih memperhatikan sesuatu secara lebih intens. Antara lain dengan mengupayakan agar si objek jadi lebih menarik. Semisal, “Nak, ini apa, ya?” Jika ia sudah menaruh perhatian, lanjutkan dengan penamaan, “Ini namanya boneka.” Begitu seterusnya dengan menggali sebanyak mungkin informasi yang bisa disampaikan pada anak. Informasi-informasi tersebut mau tidak mau membuat anak belajar menaruh perhatian secara khusus alias memfokuskan diri pada objek yang kita maksud. Pokoknya, jadikan banyak hal sebagai pelajaran bagi anak. “Hanya saja, saat belajar ini, jangan sesekali kita menunjukkan sikap tak peduli atau asal lewat saja.”

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Problema/edisi 151/23 Februari 2002

BIJAK HADAPI MAT KELUH

9 Mar


Memang capek kalau suami/istri kerjanya ngeluh melulu alias si Mat Keluh. Tapi bila tak bijak, bisa jadi lingkaran setan sekaligus bom waktu yang mengancam keluarga.

Psikolog Dra. Suhati Kurniawati membedakan mereka yang suka mengeluh ini menjadi 2 tipe utama. Pertama, mereka yang besar kemungkinan berkepribadian pengeluh. Dalam arti, “Keluhan menjadi bagian dari hidupnya karena dilakukan terus-menerus, meski suami atau istri yang dikeluhi sudah membuat langkah-langkah perbaikan. Hal yang dikeluhkan pun, sudah dibicarakan dan dicarikan solusinya.”

Bisa jadi, lanjut psikolog di LPT-UI (Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia), semasa kecil, si tukang mengeluh ini terlalu dimanjakan dan selalu dipenuhi kebutuhannya oleh lingkungannya. Terutama oleh orang tuanya yang termasuk kategori tidak tegaan alias selalu mengabulkan segala keluhan/rengekan dan permintaan anak. Akhirnya,kebiasaan mengeluh itu menjadi semacam cara ampuh untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Alhasil,kebiasaan yang dilakukan terus-menerus ini kemudian diintegrasikan sebagai kepribadiannya. Hingga saat sudah menikah pun, selalu ada saja yang dikeluhkan meski secara umum kondisi keluarganya oke-oke saja. Sementara yang dikeluhkan pun bisa jadi hal-hal sepele yang sama sekali tak bermakna baginya maupun orang lain, semata-mata hanya karena sudah terbiasa mengeluh. Repot, kan?

CARI PERHATIAN

Tipe kedua adalah mereka yang lewat kebiasaannya mengeluh memang berniat untuk cari perhatian. Secara garis besar, mekanisme pembentukannya kira-kira sama dengan yang pertama tadi. Bedanya, buat tipe ini keluhan bukan dijadikan alat untuk memperoleh sesuatu berupa materi, melainkan sebatas keinginan agar kebutuhannya untuk diperhatikan bisa dipenuhi. Tak heran kalau cara inilah yang kemudian terus dilakukannya sebagai cara tunggal untuk mendapat perhatian dari pasangan dan orang lain. Terutama jika pada tahun-tahun pertama perkawinan ia tidak mendapatkan perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya. Mengapa hanya tahun pertama yang dominan? “Karena itulah masa yang boleh dibilang terbentuknya dasar/pola hubungan suami-istri.”

Penyebabnya, terang psikolog yang akrab disapa Iin, bisa saja lantaran dulunya si ibu tidak memberi perhatian semestinya. Terutama bila si ibu tipe pencemas. Ketika si anak menangis, contohnya, setiap kali itu pula si ibu langsung tergopoh-gopoh menenangkannya atau ia begitu cemas yang bisa terbaca lewat perubahan suaranya. Meski belum bisa mengerti secara keseluruhan, kekhawatiran berlebih ini akan tertangkap oleh anak, hingga figur ibu yang melindunginya sama sekali tidak memberi rasa aman. Dengan kata lain, basic trust si anak tidak terbentuk dengan baik. Tak heran kalau di masa-masa selanjutnya ia pun sulit menaruh kepercayaan pada apa saja dan siapa saja.

Mereka yang tidak merasa diterima biasanya akan terus mencari polanya sendiri, sekaligus menikmatinya. Hingga kalaupun suatu saat ia menyadari perilakunya tersebut tidak baik di mata umum, ia tidak akan keluar dari pola lama. Bukan tidak mungkin pula ia justru jengkel/marah pada pasangannya dan cara itulah yang dipakainya untuk membalaskan kemarahannya pada pasangan. Tipe seperti ini, tukas Iin, biasanya lebih sulit untuk “ditarik” alias membenahi diri.

BUKAN AIB

Sebetulnya, tukas Iin, mengeluh amat manusiawi karena merupakan salah satu cara untuk memanjakan diri. Dalam arti, manusia adalah makhluk sosial yang akan merasa aman antara lain kalau diterima oleh orang lain. Bukankah dengan mengeluh ia merasa didengarkan dan diterima oleh orang lain? Paling tidak, dengan mengeluh ia memperoleh rasa aman dan di kali lain bisa “membaca” sekaligus menerima diri sendiri, hingga tak perlu mengeluh dan mengeluh. Apalagi, kata Iin, “Mengeluh bukanlah aib. Hanya saja, keluhan tidak boleh berhenti sebatas keluhan. Yang paling penting justru upaya untuk mencari solusi terhadap masalah yang dikeluhkan. ”

Tentu saja teramat sulit untuk “meramalkan” apakah suatu saat yang bersangkutan akan berhenti mengeluh. Kondisi ini hanya mungkin bila ia suatu saat menyadari kekurangannya. Dari pengalamannya sebagai psikolog, kata Iin, tak sedikit yang cukup reflektif mengadakan instrospeksi diri, “Kok, aku jadi suami/istri yang hobi ngeluh begini, sih?” Terlebih bila pasangannya pun pernah menegur kebiasaan buruknya. Masalah akan jadi rumit bila si tukang ngeluh ini tak mampu bersikap reflektif. Artinya, wawasannya begitu sempit lantaran ia hanya melihat segalanya dari sudut pandangannya sendiri.

Boleh jadi, bila ditelusuri ke masa kecil, orang tuanya memberi perhatian secara tidak tepat/proporsional. Sementara ia sebagai anak akan meniru pola yang dipakai orang tuanya, hingga mekanisme ini kemudian membentuk lingkaran setan yang tak kunjung selesai. Untuk meng-cut-nya? “Harus dilakukan lewat proses penyadaran secara aktif yang dilakukan oleh lingkungan, terutama pasangannya. Sedangkan bila masalahnya sudah sedemikian parah dan dirasa amat mengganggu, sangat dianjurkan menemui psikolog atau konselor perkawinan.

SIKAP PASANGAN

Lalu sebagai pasangan, bagaimana sebaiknya kita bersikap? Bersikap konfrontatif, terang Iin, biasanya hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan dengan suami/istri yang rajin mengeluh tadi. Paling tidak, ia justru merasa tidak dimengerti, apalagi bila disudutkan karena pasangan terus menyalahkan sikapnya/dirinya. “Kendati begitu, sikap konfrontatif kadang diperlukan. Tapi mesti benar-benar taktis dengan memperhitungkan emosi pasangan saat itu.”

Dalam hal ini, terang Iin, si konselor biasanya menggunakan teknik mendengar aktif yang sebetulnya bisa dipelajari oleh siapa pun, termasuk kaum awam. Hanya saja, untuk bisa mendengar aktif, orang harus bersedia mendengar pasif lebih dulu. Artinya, ia hanya perlu mendengar sekadar mengiyakan semua yang disampaikan si pengeluh. Setelah yang bersangkutan merasa diterima, pendengar aktif mesti bisa menangkap perasaan di balik yang diungkapkan pengeluh tadi. Dengan begitu yang bersangkutan merasa terbantu untuk menenangkan perasaan yang bergolak dalam dirinya.

Konkretnya, si pendengar aktif dituntut untuk mampu “membaca”, namun tidak berarti lantas mendiagnosa maupun menuding, “Kamu kecewa, kan?” Melainkan menggunakan kalimat tanya yang membutuhkan afirmasi/pengakuan. “Sepertinya kamu kecewa, ya, dengan kejadian itu?” Dengan mengajukan kalimat-kalimat tanya semacam itu diharapkan akan meluncur hal-hal yang dirasa menjadi ganjalan sekaligus ajakan untuk refleksi.

Dengan begitu sama sekali tidak ada unsur sok tahu dari si pendengar aktif dengan membuat kesimpulan sendiri. Melainkan membingkai kembali/reframing atau memberi makna baru pada hal sama yang dikeluhkan. Dengan kata lain, harus selalu diberi makna positif karena bukan tidak mungkin yang bersangkutan menemukan solusinya saat ia melihat hal yang sama dengan sudut pandang berbeda.

RIBUT MELULU

Yang juga perlu dihindari adalah kecenderungan untuk menyalahkan/menyudutkan sekalipun kita tahu perilaku suami/istri kita yang tukang mengeluh itu jelas-jelas salah. “Papa/Mama ini gimana, sih? Kerjaannya, kok, ngeluh terus!”, contohnya. Dengan hanya saling menyalahkan, jangan pernah berharap pasangan merasa diterima dan dimengerti dan keluar dari kebiasan buruknya. Sementara untuk sampai pada tahap netral ini, emosi kita sebagai pendengar yang berniat membantu harus betul-betul stabil. Soalnya, “Kalau tak cukup matang, bukan solusi yang didapat, tapi malah ribut melulu.”

Untuk sampai pada pencarian solusi, diperlukan negosiasi yang menuntut kesetaraan antara pengeluh dan pasangannya. Artinya, kedua belah pihak saling mengajukan kebutuhannya sekaligus diakomodasikan dan dicarikan jalan keluarnya untuk kepentingan bersama. Langkah-langkahnya pun harus jelas, termasuk soal batas waktu pelaksanaannya dan bagaimana evaluasinya. Kalau lewat cek balik ternyata dinilai tidak berhasil, harus kembali dipikirkan bentuk solusinya. Kendati pemenuhan kebutuhan tersebut tak harus persis sama dengan benda/hal yang diinginkan.

Mereka yang bukan tipe pengeluh, tegas Iin, jelas bisa dibedakan dari si tukang ngeluh. Bukan hanya dari topik keluhan yang itu-itu saja, melainkan juga dari tenggang waktunya untuk tidak tinggal diam dalam keluh-kesah. Artinya, bisa saja mereka secara bersama mengeluhkan soal kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Hanya saja yang bukan tipe pengeluh akan segera masuk ke dalam proses negosiasi dengan mengemukakan apa saja kebutuhannya maupun keluarganya sekaligus langsung memilah-milah bentuk keborosan apa saja yang bisa dibuang untuk menyiasati kenaikan harga-harga tersebut. Dengan demikian keluhan akan segera diikuti dengan solusi-solusi yang paling memungkinkan.

Sebaliknya, buat si Mat Keluh, solusi tak akan pernah muncul karena selalu tertutup oleh rentetan keluhan berikutnya. Semisal, “Iya, tapi aku harus gimana, dong?”, hingga polanya selalu menjadi “yes, but” alias tidak pernah berkesudahan. Nah, bila mengeluh memang sudah jadi bagian dari kepribadiannya, cobalah telusuri masa kecilnya. Terutama kedekatan hubungannya dengan si ibu karena dengan ibulah secara natural ikatan awal anak akan terbentuk.

KIAT JITU

Seandainya kita termasuk si pengeluh, lantas adakah kiat jitu agar keluhan kita langsung didengar pasangan tanpa harus mengulang-ulang yang justru akan membuat pasangan atau orang lain sebal mendengarnya? “Kalau tanggapan pasangan saat kita mengeluh tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, cobalah evaluasi. Artinya, bagaimana kondisinya saat itu karena bukan tidak mungkin momennya tak tepat. Semisal kita mengeluh justru dia tengah sumpek,” kata Iin mencontohkan.

Sedangkan bila pasangan selalu bersikap cuek atau malah marah-marah terus, coba kaji apakah isi keluhan kita itu-itu saja. Atau boleh jadi sangat bervariasi, namun nyaris dikeluhkan setiap saat. Akan lebih baik, anjur Iin, cobalah data secara tertulis. Terlebih bila ada segudang keluhan yang membuat kita merasa perlu untuk selalu mengeluh setiap saat. Hanya saja jangan lantas berhenti sampai di situ, melainkan secara aktif terus mencari kaitan antara aksi dan reaksi. Lakukan sendiri tanpa bantuan pasangan yang mendengar aktif tadi, tapi jadikan diri sendiri sebagai pendengar aktif tadi. Dengan begitu kita bisa mengambil jarak dengan diri sendiri.

Bukankah di saat mengeluh, emosi kita biasanya belum tertata/tertampung. Hingga kita sekadar mengeluh dan mengeluarkan emosi. Sadarkah bila keluhan kita acap kali tak ada relevansinya dengan masalah sebenarnya hanya karena ada perasaan takenak setiap kali tak mengeluh. Meski menurut Iin, diperlukan kebesaran jiwa untuk mengakui diri gemar mengeluh dan mencoba untuk berhenti mengeluh. Yang tak kalah berat, keinginan untuk berubah itu harus dimulai dari diri sendiri. “Jangan pernah berniat untuk mengubah pasangan karena akan lebih sering mengecewakan alias menemui jalan buntu.”

Bila Tak Pernah Mengeluh

Tak pernah mengeluh juga bukan perilaku terpuji, lo. Soalnya, tegas Iin, ini pun perlu diwaspadai ada sesuatu yang tidak beres dengan mekanisme pertahanan dirinya sekaligus bisa mengundang bahaya. Di satu titik kulminasi tertentu, kesehatannya bisa ambruk karena digerogoti dari dalam.

Pasalnya, bila yang bersangkutan terbiasa menekan segala keluh kesahnya, bukan tidak mungkin akan termanifestasi lewat aneka penyakit yang terkait dengan saraf-saraf tepi. Artinya, organ-organ tubuh yang dikendalikan oleh saraf tak sadar, seperti jantung, sistem pencernaan, sistem pernapasan atau sistem kekebalan tubuh akan terganggu.

Boleh jadi mereka yang tidak pernah mengeluh ini belajar dari pengalamannya, ia tidak pernah mendapat tanggapan yang berarti. Entah itu dengan orang tuanya semasa kecil, dalam pergaulannya maupun dalam relasinya dengan suami/istri. Kemungkinan lain, ia tumbuh dalam kultur tertentu yang mengkondisikan “warga”nya untuk selalu mengontrol emosinya.

Celakanya, orang kerap menyalah artikan mengontrol dengan menekan emosi. Sementara berkeluh kesah apalagi sampai meluapkan emosi dianggap sebagai aib. Akibatnya, yang bersangkutan jadi sulit mengenali emosi dan masalahnya masing-masing.

Yang perlu kita ingat juga, bilang Iin, kita ini bukan manusia supersakti. Untuk menata emosi yang bergolak, beragam sarana bisa dijadikan pilihan. Semisal dengan menulis puisi, melukis, berkebun, atau melakukan aktivitas apa pun yang disukai. “Jadi, bukan sekadar mengalihkan atau malah mendiamkan masalah, lo. Soalnya, tidak semua masalah bisa selesai dengan berjalannya waktu. Malah ada yang berpeluang menjadi bom waktu yang mengancam keutuhan keluarga bila didiamkan, hingga tetap harus dicarikan solusinya.”

Hati-Hati Ditiru AnakKalau mengeluh sudah jadi kebiasaan, “Buruk sekali, lo, dampaknya karena anak adalah peniru ulung,” tegas Iin. Perilaku ini pun seolah akan turun-temurun dari orang tua ke anak karena dalam proses tumbuh kembangnya ada yang dinamakan denganobservation learning atau belajar melalui pengamatan.

Besar kemungkinan si kecil tidak mengeluh saat itu karena situasinya memang tidak memungkinkannya untuk mengeluh. Tapi ketika menikah pola itulah yang sudah tertanam begitu kuat dalam benaknya hingga ada kecenderungan berulang.

Jadi, sarannya, ketimbang keluarga terjebak dalam kebiasaan buruk tersebut, mengapa kita tidak berusaha keras menghentikannya. “Sulit, sih. Tapi bukan tidak mungkin mengerem atau malah menghentikan kebiasannya mengeluh. Meski mengeluh pada batas tertentu punya manfaat, akan baik sekali bila kita tidak berkembang jadi tukang mengeluh.”

Lagi pula, dengan mengeluh sebetulnya kita telah menjatuhkan/menurunkan harga diri di mata sosok yang kita jadikan tempat berkeluh kesah. Paling tidak, boleh dibilang yang bersangkutan tidak matang. Dalam arti tidak stabil emosinya

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Problema/edisi 148/2 Februari 2002

GEMAR IKUT CAMPUR URUSAN ORANG

9 Mar


Pasangan atau kita gemar ikut campur urusan orang? Hati-hati, ah. Besar kemungkinan, sebetulnya kitalah yang bermasalah dan perlu bantuan.

Siapa pun pasti sebal menghadapi orang yang maunya“icam” alias ikut campur urusan kita. Bahkan tanpa diminta, biasanya ia pun akan memberi “nasihat gratis” atas masalah yang tengah kita hadapi. Boleh jadi kita akan berkata ketus atau malah menghardiknya, “Ngapain, sih, ikut campur urusan orang lain?” Tapi tak ada salahnya kita introspeksi diri, siapa tahu kita pun setali tiga uang.

Pasalnya, menurut konsultan perkawinan Dr. Joanes Riberu, setiap individu pada dasarnya berpeluang memiliki kecenderungan untuk icam. Meski, lanjutnya, kecenderungan ini bukan bersifat bawaan dari lahir, melainkan lebih karena faktor lingkungan. “Masyarakat kita, kan, sangat sosial. Bahkan boleh dibilang kelewat sosial. Dalam arti,selalu ingin segala sesuatu yang menjadi urusan orang lain sekaligus menjadi urusan kita juga. “Itu sebabnya, kata administrator Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, bila dirasa ada hal-hal yang dianggap kurang benar dalam diri orang lain, akan segera muncul dorongan untuk “meluruskan”nya. Semisal, dengan membicarakannya langsung bersama yang bersangkutan. Atau kalaupun dirasa tak bisa, maka ia akan asyik membicarakan kekurangan tadi dengan orang lain.

Sayangnya, baik saat membicarakannya dengan yang bersangkutan maupun dengan orang lain, si icam ini bukan berniat mencarikan solusi melainkan malah membesar-besarkan masalah dengan mencari-cari kesalahan orang lain. Buntut-buntutnya, apalagi kalau bukan malah menciptakan masalah baru atau setidaknya membuat orang lain sebal.

PROYEKSI DIRI

Ikut campur, terang Riberu, bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya proyeksi. Dalam arti, si individu berbuat kesalahan serupa, hingga ketika orang lain melakukan kesalahan yang kurang lebih sama, ia akan melihatnya dengan jelas sekali. Dengan kata lain, ia memproyeksikan kelemahannya pada orang lain. “Manusiawi sekali, toh? Seperti apa kata pepatah ‘Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.’ Konkretnya, kita begitu asyik membicarakan tentang hal dan orang lain hanya karena kita ingin menyembunyikan keburukan serupa dalam diri kita.”

Kedua, yang bersangkutan menjadikan ikut campur ini hanya sekadar mengisi waktu atau lantaran tak ada aktivitas lain yang dianggapnya bisa memberi keasyikan. Baginya, “sosialisasi” semacam ini dianggap amat berharga. Itu sebabnya, lanjut Riberu, individu yang aktif dan banyak bekerja umumnya merasa tak sempat untuk membicarakan orang lain, “Apalagi ikut campur urusan mereka. “Penyebab lain adalah kecenderungan dalam diri tiap individu untuk mengatur sesuatu ataupun orang lain. Artinya, setiap orang menganggap eksistensi dirinya begitu penting, hingga dunia tak akan bisa berputar tanpa dirinya. Kesempatan dan anggapan mampu mengatur orang lain inilah yang kemudian memberinya kepuasan yang membuatnya tak sekadar jadi angin lalu. Begitu juga dengan membicarakan atau ikut campur urusan orang lain yang memberi si individu kebanggaan tersendiri bahwa dirinya berarti.

CEKCOK BERKEPANJANGAN

Celakanya, bila dibiarkan, kebiasaan ikut campur urusan orang lain ini bisa menimbulkan konflik di antara suami-istri, lo. Contohnya bila istri hobi icam, sementara suami justru sebaliknya. Bukan tidak mungkin, kan, suami bolak-balik bakal memarahi pasangannya, “Mama, kok, norak banget! Lagian ngapain , sih, ikut campur urusan orang?” Kendati sebetulnya, tutur Riberu, kondisi ini lebih bagus ketimbang pasangan sama-sama hobiicam. Maksudnya, kehadiran pasangan yang lebih realistik diharapkan bisa mengarahkan si icam tadi. Minimal, ia bisa bilang, “Enggak usahlah ikut campur urusan orang lain, Ma.Urusin keluarga kita dulu, deh.” Meski tidak berarti bukan tanpa risiko, lo, karena si istri pasti akan merasa tersingkir dengan teguran semacam itu. Setidaknya, ia merasa tidak didengarkan, dimasabodohkan, bahkan tidak dipercaya oleh pasangannya. Akhirnya, terjadi cekcok berkepanjangan. Hingga memang akan lebih bijaksana bila masing- masing pihak mampu saling menyesuaikan diri. Secara halus dan perlahan, saran Riberu, cobalah mengarahkan pembicaraan si icam ke hal lain, yang tak kalah mengasyikkan baginya. Bukankah mereka yang gemar membicarakan/ikut campur urusan orang lain adalah mereka yang gemar jual omong?

Dengan begitu, imbuhnya, saat suami/istri ikut campur atau setidaknya mencap orang lain kelewat boros, contohnya, pasangan bisa mengajaknya mengevaluasi, untuk apa saja uang mereka dibelanjakan. Semisal, “Ngomong-ngomong kemarin belanja apa aja, sih?” Buang jauh kesan menuduh istri/suami sebagai pemboros, meski mungkin begitu kenyataannya. Ini jauh lebih baik ketimbang langsung meng-cut kebiasaan istri/suami yang gemar icam. Sebab, tindakan keras meng-cut hanya akan membuat yang bersangkutan memberi reaksi secara keras pula. Entah dengan semakin defensif atau justru ngotot mempertahankan diri dan mencari pembenaran atas apa yang diperbuatnya.

Sebaliknya, justru dengan melibatkannya dalam pembuatan evaluasi, secara tak langsung si icam diajak menilai seperti apa dirinya sendiri yang notabene sama borosnya dengan orang yang dibicarakan tadi. Dengan kata lain, pasangan harus mampu membidik sasaran yang sama dengan cara lain tanpa harus menyakiti hati maupun harga diri suami/istrinya yang icam tadi.

SALING PERCAYA

Kendati begitu, tambah Riberu, bukan berarti kita lantas ditabukan untuk ikut campur urusan orang lain. “Bila memang diperlukan, mengapa tidak?” Tapi, seberapa jauh kita boleh/perlu ikut campur urusan orang lain, mesti dilihat dulu dari beberapa aspek. Di antaranya aspek keterbukaan, yaitu seberapa jauh orang tersebut membuka diri terhadap kita. Pada seorang adik atau sahabat yang membuka masalahnya dan minta nasihat, tentu kita mesti ikut campur. Dengan kata lain, gunakan kesempatan dan keterbukaannya untuk memberinya masukan yang berarti.

Sebaliknya, jika yang bersangkutan tak membuka diri terhadap kehadiran kita, niat baik dan nasihat sebagus apa pun akan sia-sia atau malah menimbulkan masalah baru. Orang akan merasa tersinggung jika mendapat nasihat gratis karena antara si pemberi dan penerima nasihat sama sekali tidak ada hubungan batin maupun saling percaya. Dengan begitu, ikut campur baru akan efektif bila yang bersangkutan mempercayakan diri dan persoalannya pada orang lain. Sementara orang lain yang diberi kepercayaan pun bukan sekadar jual omong, melainkan dengan sungguh-sungguh mencari solusi atas masalah yang dihadapi si pemberi kepercayaan tadi. Itu sebabnya, tegas Riberu, bila tidak terbangun sikap saling percaya, “Sebaiknya jangan pernah ikut campur, deh.”

Aspek berikut yang juga perlu dipertimbangkan adalah benarkah keterlibatan kita bukan semata merupakan proyeksi kekurangan diri. Pasalnya, keterlibatan semacam ini umumnya tidak akan pernah digubris, hingga amat disarankan mereka yang memiliki kesalahan/kekurangan tertentu jangan pernah menegur orang lain tentang kesalahan/kekurangan tersebut. Jika tidak, bisa-bisa orang malah akan dengan sinis mentertawakan kita, “Ngaca dulu, deh!”

Pertimbangan lain adalah azas manfaat. Artinya, harus dilihat apakah nasihat yang diberikan akan berguna atau tidak bagi yang bersangkutan. Nah, kalau ikut campurnya kita sama sekali tidak memberi manfaat atau malah memperkeruh suasana, sebaiknya jangan pernah ikut campur. Terlebih bila memang sejak awal tidak terjalin hubungan batin atau tidak terbangun sikap saling percaya tadi.

MESTI TAHU DIRI

Lalu bagaimana sebaiknya menghadapi si icam? Menurut Riberu, “Tak perlu rikuh menutupi ketidaksukaan kita. Bisa dimaklumi, kok, bila kita umumnya menunjukkan sikap defensif karena sok ikut campur memang bakal memukul harga diri. Bukankah setiap bentuk intervensi semisal nasihat akan menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekurangan? Padahal, siapa, sih, yang mau dirinya dianggap kurang? Bahkan orang yang hidungnya pesek sekalipun, enggak mau dibilang berhidung pesek! Lain halnya jika yang bersangkutan sudah mencapai tahap kematangan kepribadian yang memungkinkannya menerima, menikmati sekaligus ‘mentertawakan’ kekurangan dirinya. “Hingga, sambungnya, tak berlebihan kalau kita tegas-tegas melarang orang lain yang tak berkenan “masuk” ke dalam wilayah pribadi kita. “Tak perlu banyak basa-basi bila kita memang tak suka urusan kita dicampuri.” Dengan begitu, tanpa sikap keras/ketus dari individu yang bersangkutan pun, si orang luar yang sok ikut campur tadi seharusnya bisa tahu diri.

Apa pun, pesan Riberu, hargai privacy orang lain. Setiap orang pasti tidak ingin masalah apalagi rahasia pribadinya diketahui orang lain karena itu merupakan bagian dari dirinya yang paling mendalam. “Jelas, dong, siapa pun tak mau menelanjangi dirinya.”

Yang juga perlu diingat, kebiasaan ikut campur urusan orang lain bisa memperburuk hubungan yang sudah terjalin. Tak heran jika mereka yang gemar ikut campur ini biasanya secara perlahan namun pasti akan dijauhi oleh lingkungannya. Kalau sudah begitu, dia sendiri, kan, yang rugi? Itu sebabnya sebelum ikut campur, “Lihat sikon dulu, deh.” Kalau yang bersangkutan percaya dan mempercayakan permasalahannya pada kita, ya lakukan. Kalau tidak? Sebaiknya lupakan saja!

Kendati begitu tak perlu menutup diri atau bersikap apriori. Artinya, kita tetap mesti mengamati seberapa jauh yang bersangkutan menaruh kepercayaan dan seberapa darurat masalah yang dihadapinya. Toh, kita bisa mengetahui, seberapa jauh seseorang mempercayakan masalahnya sekaligus membuka diri untuk menerima masukan nasihat dari caranya bertutur. Kalau yang dijadikan topik pembicaraan hanya masalah-masalah umum, berarti belum ada saling percaya.

Sebaliknya, bila dalam pembicaraan tersebut dimunculkan secara jujur hal-hal seputar diri, bahkan pengalaman pribadi yang paling pahit sekalipun, itu pertanda di antara mereka ada keterbukaan dan sikap saling percaya. Jadi, bukan sekadar teman biasa yang cuma tahu hal-hal yang bersifat umum. Kalau memang yang bersangkutan jelas-jelas tak membuka diri, “Enggak perlulah berusaha mengorek-ngorek apa lagi memvonis dirinya begini-begitu atas masalah yang tengah dihadapinya.”

Hati-Hati Ditiru Si Kecil

Kalau orang tua “hobi” ikut campur urusan orang lain, tak perlu bingung jika kelakuannya itu ditiru anak. Seperti diingatkan Riberu, orang tua adalah sosok modeling buat anak. Kemungkinan pertama, proses identifikasi akan mengarahkan anak pada proses imitasi. Alhasil, anak yang amat mendewakan orang tuanya, besar kemungkinan akan tumbuh sama persis dengan ayah-ibunya yang gemar icam.

Di sisi lain, ada pula batita yang karena pengalaman tertentu menjadi sangat tidak senang pada kebiasaan orang tuanya yang gemar nimbrung urusan orang. Mereka inilah yang biasanya kelak memperlihatkan sikap sebaliknya.

Jadi, jika merasa tak bisa atau belum mampu menghilangkan kebiasaan ikut campur, sebaiknya lakukan tidak di depan si kecil. Terlebih karena anak kecil umumnya memiliki kepolosan dan spontanitas tinggi hingga tak jarang orang tua justru kerap merasa dipermalukan oleh kejujuran/kepolosan si kecil.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/rubrik Problema/edisi 146/19 Januari 2002

“BUNDA, AYAH KOK DIBAWA PAK POLISI?”

9 Mar


Apa pun masalahnya, bila memungkinkan ungsikan anak saat ayah atau ibunya “dijemput” polisi. Meski belum terbukti bersalah, bisa berdampak buruk buat anak.

Siapa pun pasti tak pernah mengharapkan suatu saat salah satu dari kedua orang tua kita harus berurusan dengan polisi. Meski cuma sebatas “dijemput” untuk dimintai keterangan, misalnya. Seperti dijelaskan psikolog Dra. Rostiana, kesan yang tertangkap dalam diri anak balita sungguh tak menyenangkan bila ayah/ibunya mengalami hal seperti itu. Terlebih bila peristiwa tadi dilengkapi dengan penggerebekan rumah mereka lalu si ayah/ibu dibawa secara paksa atau malah diborgol.

Paling tidak, tegas Pudek III Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta ini, peristiwa semacam itu akan membuat anak syok/terguncang dan merasa takut berkepanjangan. Terlebih bila ia hanya mendapat jawaban tak bersahabat atas pertanyaan yang diajukannya. Semisal, “Ini urusan orang tua!”, hingga lantas ia memilih bersikap diam alias tak berani bertanya atau komentar apa pun. Boleh jadi karena di mata orang tua, anak usia ini belum bisa menangkap atau memahami kejadian yang dialami atau dilihatnya. Padahal, lanjut Rostiana, “terbaca” atau tidak, semua peristiwa itu terekam dalam benak anak.

PROTES KERAS

Saat ayah ditangkap polisi, contohnya, dalam bingkai pemikiran anak langsung tertangkap bahwa bapaknya jahat. Reaksinya pun bisa macam-macam. Bukan tidak mungkin ia akan spontan bertanya, “Memangnya ayahku penjahat?” seperti yang disaksikannya di film-film. Kendati image anak terhadap sosok polisi juga amat dipengaruhi oleh masukan dari orang tua atau lingkungannya. Mereka yang sering ditakut-takuti, “Hayo, jangan menangis, tuh, ada Pak Polisi,” tentu akan mendapat gambaran yang berbeda dengan anak lain yang memperoleh sosialisasi mengenai polisi secara proporsional. Semisal, “Kalau Adek kesasar di jalan atau di pasar, Adek bisa tanya atau minta tolong pada Pak Polisi.”

Reaksi lain yang muncul adalah protes keras, “Kenapa Pak Polisi ambil Papaku?”, “Kenapa tangan Ayah harus diikat?” atau “Pokoknya Papa enggak boleh pergi!” Reaksi yang juga berkemungkinan muncul adalah si anak begitu takut tapi cuma bisa bersikap diam, tak bisa bicara atau berkomentar apa pun atas segala sesuatu yang dilihatnya.

Di sinilah, tegas Rostiana, peran orang tuanya yang tinggal di rumah amat diperlukan. Sebab, “Kita, kan, tidak pernah tahu, sejauh mana peristiwa tersebut berpengaruh pada anak, baik pada saat itu maupun di saat-saat berikut. Tak ada yang bisa meramalkan apa dampaknya pada kehidupan anak. Apakah seumur-umur si anak akan menganggap bapaknya sebagai penjahat atau justru berprasangka buruk dan menaruh dendam kesumat pada sosok polisi yang telah ‘merampas’ kebahagiaannya dengan ayah atau ibunya.”

PENJELASAN NJLIMET

Mengingat hal itu, saran Rostiana, sedapat mungkin anak tak usah melihat ayah/ibunya diborgol dan di”jemput” polisi. Entah dengan diajak atau diungsikan ke tempat lain lebih dulu. Lain soal bila hal semacam itu memang tak bisa terelakkan karena kejadiannya berlangsung begitu cepat. Pertimbangannya, jelas Rostiana, meski belum atau tidak memahami peristiwa tersebut, yang jelas akan sangat membekas atau terinternalisasi terus-menerus.

Akankah rekaman peristiwa tersebut terus bertahan atau tidak, lagi-lagi terpulang pada ibu/ayah yang tidak berurusan dengan polisi, bila memang tak terelakkan anak menyaksikan peristiwa itu.

Karena itu, tegasnya, “Pihak yang tidak berurusan dengan polisi harus segera menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jangan bohongi anak, tapi juga tak harus menyampaikan penjelasan secara detil dengan bahasa njlimet yang hanya akan menambah bingung si kecil.” Cukup katakan, “Bapak harus ikut Pak Polisi karena masalahnya enggak bisa diselesaikan di sini. Di kantor polisi, Bapak nanti akan ditanya macam-macam dan yang nanya Bapak bukan cuma satu polisi, tapi banyak, hingga mungkin bisa berjam-jam.”

Sampaikan bahwa berurusan dengan polisi merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Akan tetapi jelaskan juga kepada anak bahwa setiap orang bisa saja mengalami hal serupa dengan apa yang dialami ayah atau ibunya. “Semua orang bisa terkena masalah hukum, tapi bukan berarti dia penjahat, lo. Bisa saja seseorang dipanggil sebagai saksi dan harus bolak-balik kasih keterangan dan mengindentifikasi tersangka.”

Yang tak kalah penting, sampaikan semua penjelasan tadi tanpa ekspresi berlebih. Sebab, tuturRostiana, apa yang ditangkap anak biasanya bukan omongan semata. Melainkan juga ekspresi emosional/nonverbal semisal nada suara, sorot mata, dan mimik wajah. Jika disampaikan sedemikian ekspresif, bukan tidak mungkin masalah yang semula “sederhana” jadi begitu meresahkan si anak. Jadi, saran Rostiana, pandai-pandailah ibu/ayah atau siapa pun yang berada di rumah, berupaya menetralisir suasana. Ibu/bapak atau siapa pun orang dewasa harus bisa mendampingi sekaligus bisa memberi rasa aman pada anak.

GUNJINGAN TETANGGA

Sulitnya, pasangan pun sedang bergejolak perasaannya kala suami/istrinya harus berurusan dengan polisi. Alhasil, bebannya memang lebih berat karena di saat yang sama dia harus menenangkan anaknya. Dibutuhkan kondisi mental yang supertangguh dan kemampuan untuk melihat masalah seobjektif mungkin. Bila tahu pasangannya bersalah, misalnya, ia pun harus bisa menjelaskan pada anak bahwa memang proses itulah yang harus dilalui ayah/ibunya. Bukan malah mengindoktrinasi dengan hal-hal yang mengarah sebagai ledakan emosional. “Polisi aja yang ngaco! Papa/Mamamu enggak salah kok!” atau menjejali anak dengan berbagai informasi negatif.

Yang juga perlu dicermati adalah dampak buruk dari lingkungan yang cenderung “menghukum”. Dengan menghujamkan cibiran/cemooh yang tak mengenakkan hati, semisal, “Ih bapak kamu penjahat, ya.” Hingga memang diperlukan “keajaiban” berupa ketegaran mental dan kesabaran ekstra untuk memberi pendampingan pada anak. Termasuk menghadapi situasi tak mengenakkan berupa sikap ataupun omongan yang bernada menyudutkan. Yang terpenting, tandas Rostiana, “Sedapat mungkin tingkatkan kualitas hubungan orang tua-anak guna membendung gunjingan tetangga.”

“Gempuran” dari lingkungan sekitar, aku Rostiana, memang begitu deras, hingga tak jarang membuat anak jadi enggan “sekolah”. Kalau memang diperkirakan akan berlangsung lama, harus bisa cepat diantisipasi kondisinya. Paling tidak, minta bantuan pada kerabat terdekat untuk berbagi tugas menjelaskannya pada anak.

BINA SILATURAHMI

Selain itu, segera minta bantuan tetangga dan para guru untuk tetap menjaga privacysi anak agar tidak diperlakukan berbeda setelah adanya peristiwa itu. Jangan sampai membuat suasana mendadak jadi tidak nyaman buat si anak untuk bergaul. Jangan pula memperalat anak dengan bertanya macam-macam hanya lantaran tak berani bertanya ke orang tuanya. Menurut Rostiana, akan sangat menguntungkan jika sebelum kejadian keluarga yang bersangkutan sudah saling kenal dan menjaga silaturahmi dengan tetangganya.

Dengan demikian bisa diharapkan pengertian dari para tetangga untuk ikut melindungi si kecil dengan tidak mengajukan pertanyaan ataupun tudingan yang membuat anak merasa terpojok. Akan sama destruktifnya atau bahkan lebih buruk pengaruhnya jika satu pihak yang seharusnya mendampingi anak justru menutup diri atau lari dari kenyataan. Dengan menunjukkan sikap tertutup atau malah bersikap agresif, misalnya. “Setiap kali ada orang nanya, kita langsung marah-marah tak keruan yang akan semakin membuat orang ‘bersorak’.”

Ketimbang menunjukkan reaksi negatif semacam itu, anjur Rostiana, bukankah lebih baik mengajak mereka berempati? Semisal, “Coba, deh, gimana kalau Ibu atau Bapak mengalami hal yang sama?” Sebaliknya, “Kalau kita malah menutup semua informasi, orang sekitar malah ‘terundang’ untuk memberi reaksi negatif. Dengan kata lain cenderung menjatuhkan vonis tanpa tahu apa permasalahannya.”

Itulah perlunya membina silaturahmi dengan tetangga agar di saat-saat sulit seperti itu keluarga yang tengah diterpa masalah masih bisa berharap mendapat dukungan moril. “Kita akan lebih mudah mendapat dukungan sosial dan emosional kalau kita memang bukan tipe keluarga yang tertutup atau malah terkesan sok eksklusif.”

MENGASIHANI DIRI

Mesti diakui juga bahwa masyarakat memang cenderung menarik diri ketika keluarga tertentu menghadapi masalah. “Lingkungan cenderung ‘cuci tangan’ dan seolah tak mau ambil risiko. Hingga jangan sakit hati dibuatnya. Toh, kalaupun masyarakat sekitar akhirnya menjauh atau setidaknya menjaga jarak, meski keluarga yang tengah ‘bermasalah’ sudah bersikap sewajar mungkin, anggap saja sebagai risiko yang akan ‘terselesaikan’ dengan berjalannya waktu.”

Apa pun yang terjadi, pesan Rostiana, kita mesti menjaga kondisi emosional dan sosial agar tak ambruk ke batas minimum. Sebab, jika sudah telanjur ambruk/hancur, membangunkannya kembali akan susah sekali. Kalaupun di saat ambruk dan merasa tak ada yang bisa dipercaya, mengapa tidak berharap pada hubungan vertikal dengan Yang Maha Kuasa? Biasanya, bilang Rostiana, justru hal-hal berat semacam itu yang menyadarkan insan akan nilai-nilai kemanusiaannya. Hingga jangan lantas berpikir dunia sudah berakhir. Melainkan selalu bangun kepercayaan dan belajar mengambil hikmah bahwa setiap masalah sudah didampingi oleh penyelesaiannya.

Hanya saja, pesan Rostiana,dalam kondisi demikian usahakan jangan bersikap self pittyatau mengasihani diri sendiri secara berlebihan sampai mengiba-iba. Semisal, “Aduh nasib saya, kok, apes banget, ya? Kenapa sampai tertimpa masalah seperti ini, hingga harus berurusan dengan polisi? Aduh, gimana, dong?” “Bolehlah mengeluh, tapi buat apa, sih? Toh, masalah tak akan pernah selesai hanya dengan berurai air mata terus-menerus. Lagi pula apa gunanya minta dikasihani kalau cuma sebatas rasa kasihan tanpa ada bantuan konkret?”

Selain itu, tak perlu pula menyalahkan diri maupun menyudutkan pasangan atau malah menyeret-nyeret masa lalu. “Buat apa? Toh, enggak ada gunanya sama sekali. Kecuali kalau kita tahu apa yang kita ucapkan berguna atau membantu memperbaiki keadaan, semisal membuat pasangan insyaf akan kesalahannya. Jadi, kalau malah memperburuk masalah, sekadar mengungkapkan penyesalan tanpa tujuan atau pelampiasan perasaan negatif belaka, sebaiknya, ya, ditahan saja.”

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Problema/edisi 143/29 Desember 2001

PILIH-PILIH PEMBALUT & PANTYLINER

9 Mar


Pilih yang memiliki daya serap tinggi dan ber”ventilasi” agar organ kewanitaan tetap terjaga kelembapannya. Demikian ditegaskan DR. Med. Antonius Herry Soedibjo, Sp.OG., dari Omni International Hospitals, Alam Sutera, Tangerang.

BERBAGAI PERTIMBANGAN

* Pilih pembalut yang berdaya serap tinggi dan berpori-pori yang memungkinkan udara bisa masuk. Pasalnya, kondisi vagina itu kan selalu lembap. Kalau bersentuhan dengan pembalut yang tidak memiliki kriteria tersebut, pasti akan menimbulkan berbagai keluhan, seperti ruam, lecet/iritasi yang bisa saja kemudian berkembang menjadi infeksi, dan sebagainya. Keluhan ini bisa dialami siapa saja, entah yang bersangkutan pengidap alergi ataupun bukan. Sebagai perbandingan, celupkan saja jari-jari tangan ke dalam air sekitar 30 menit. Akan terlihat keriput bukan? Bisa dibayangkan apa jadinya permukaan vagina kalau harus mengenakan pembalut sampai berjam-jam.

* Idealnya, saat menstruasi gunakan tampon dan bukan pakai pembalut. Sayangnya, wanita Indonesia tidak terbiasa dengan penggunaan tampon yang sebetulnya jauh lebih praktis karena memiliki daya serap yang luar biasa. Begitu dimasukkan ke dalam vagina, semua cairan dan darah yang keluar akan terserap. Dengan demikian permukaan tetap kering. Memakainya pun tidak rumit. Cukup masukkan di pagi hari dan ganti di malam hari. Tampon akan aman di tempat, tidak akan “lari” ke mana-mana karena ada tali untuk memudahkan saat menarik keluar. Jangan bayangkan tampon mirip dengan spiral. Tampon hanya berada di mulut vagina. Ukurannya sangat kecil tapi daya serapnya sangat tinggi.

* Mengenai intensitas penggantian, begitu terasa basah/tak nyaman, ya segeralah berganti pembalut tanpa harus melihat sudah berapa lama pembalut tersebut dikenakan. Sedangkan untuk keadaan darurat boleh-boleh saja menutup bagian atas pembalut yang sudah basah dengan tisu bersih.

* Sedangkan mengenai ketebalan pembalut itu sendiri, pertimbangan semata-mata berdasarkan banyak tidaknya darah yang keluar. Kalau sedang deras, kenakan yang berukuran lebih tebal/berdaya serap tinggi. Sementara saat tidur di malam hari, untuk kenyamanan boleh-boleh saja pilih yang khusus. Namun tidak benar di waktu malam darah menstruasi lebih banyak keluar dibanding siang hari. Sama saja kok. Penggunaan pembalut khusus (biasanya berukuran lebih panjang) lebih merupakan proteksi agar tidak mengotori seprai dan kasur.

* Pilih yang parfum atau nonparfum? Sama sekali tidak perlu. Untuk apa? Enggak perluneko-neko. Di belahan bumi mana pun, aroma kewanitaan ya sama seperti itu.

* Bila memungkinkan boleh-boleh saja pilih pembalut yang dikemas satu per satu secara khusus. Namun tidak berarti pembalut kemasan ekonomis dalam jumlah lebih banyak tidak bisa dijadikan pilihan, asalkan disimpan di tempat yang terjaga kebersihannya. Alasannya, bersikap terlalu steril juga bukan hal bijak. Toh vagina juga bukan merupakan benda steril.

* Menjaga kebersihannya cukup menggunakan air dan sabun mandi yang lunak (tidak mengandung soda). Tidak perlu cairan khusus. Penggunaan segala macam cairan pembersih malah berpeluang mematikan bakteri baik yang ada di sekitar vagina. Kalau bakteri baiknya mati, apalagi yang bisa diandalkan sistem pertahanan tubuh untuk menangkis serangan bakteri jahat?

PANTYLINER VS CELANA DALAM

Pantyliner tidak dianjurkan penggunaannya untuk sehari-hari. Kalau daerah kewanitaan terasa lembap oleh lendir atau cairan, kuncinya sederhana saja kok, sering-seringlah berganti celana dalam. Pilih celana dalam yang berbahan dasar katun. Jangan merasa dibuat repot harus gonta-ganti celana. Mengapapantyliner tidak dianjurkan? Tak lain karena kelembapan vagina malah semakin menjadi-jadi dan sama sekali tak bisa “bernapas” kalau tertutup terus sepanjang hari. Akan tetapi tidak berartipantyliner dilarang sama sekali. Boleh-boleh saja, semisal saat lendir keluar berlebihan, biasanya menjelang menstruasi.

Di luar itu, bahkan selama berada di rumah, lebih baik sesekali tidak usah mengenakan celana dalam agar daerah kewanitaan bisa “bernapas” lega. Kalaupun dirasa risih tentu hanya karena tidak terbiasa dengan kebiasaan yang terkesan agak “nyeleneh” ini.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Cantik Bugar/edisi 490/23 Agustus 2008

PERKEMBANGAN JANIN TRIMESTER KEDUA

9 Mar


Ditandai dengan percepatan pertumbuhan dan pematangan fungsi seluruh jaringan dan organ tubuh. Namun waspadai pertambahan berat badan yang berlebih.

Agar proses tumbuh kembang janin tak terganggu, jelas ginekolog RSAB Harapan Kita yang juga berpraktek di RSIA Hermina, dr. Hj. Hasnah Siregar, Sp.OG., hindari penyakit kronis sebelum kehamilan maupun penyakit infeksi yang mungkin terjadi saat kehamilan. Seperti asma, jantung, TBC, ginjal dan diabetes serta infeksi TORCH-KM (Toksoplasma, Rubella, Citomegalovirus, Herpes, Klamidia, Mikoplasma).

Gangguan penyakit-penyakit tersebut berpeluang menimbulkan ketidaksempurnaan pada tumbuh kembang tulang belulang janin, klep paru-paru, lever, ataupun gangguan perkembangan otak dan ginjal. Bahkan, demam yang merupakan gejala infeksi/penyakit, seringan apa pun, bisa menyebabkan gangguan pada air ketuban maupun fungsi lain akibat ada gangguan metabolisme tubuh janin.

MINGGU KE-13

Panjang janin (dari puncak kepala sampai sakrum/bokong) ditaksir sekitar 65-78 mm dengan berat kira-kira 20 gram. Rahim dapat teraba kira-kira 10 cm di bawah pusar. Pertumbuhan kepala bayi yang saat ini kira-kira separuh panjang janin mengalami perlambatan dibanding bagian tubuh lainnya. Perlambatan ini berlangsung terus, hingga di akhir kehamilan akan tampak proporsional, yakni kira-kira tinggal sepertiga panjang tubuhnya.

Kedua cikal bakal matanya makin hari kian bergeser ke bagian depan wajah meski masih terpisah jauh satu sama lain. Sementara telinga bagian luar terus berkembang dan menyerupai telinga normal. Kulit janin yang masih sangat tipis membuat pembuluh darah terlihat jelas di bawah kulitnya.

Seluruh tubuh janin ditutupi rambut-rambut halus yang disebut lanugo. Kerangka/tulang belulangnya sudah terbentuk di minggu-minggu sebelumnya dan di minggu-minggu selanjutnya akan berosifikasi/menahan kalsium dengan sangat cepat, hingga tulangnya jadi lebih keras.

MINGGU KE-14

Panjangnya mencapai kisaran 80-an mm atau 8 cm dengan berat sekitar 25 gram. Telinga janin menempati posisi normal di sisi kiri dan kanan kepala. Demikian pula mata mengarah ke posisi sebenarnya. Leher pun terus memanjang sementara dagu tak lagi menyatu ke dada. Sedangkan alat-alat kelamin bagian luar juga berkembang lebih nyata, hingga lebih mudah membedakan jenis kelaminnya.

Bahkan, di rumah-rumah sakit besar atau rumah sakit pendidikan dengan alat-alat bantu yang serba canggih, seluruh perkembangannya bisa dipantau. Semisal bagaimana perkembangan otak, mata dan ginjalnya. Juga bisa diketahui apakah ada anusnya atau tidak, paru-parunya berkembang baik atau tidak, saluran pencernaannya mengalami penyempitan atau tidak, serta adakah kebocoran pada klep atau bagian lain dari jantung. Termasuk jika terlihat kecacatan berupa bibir sumbing atau kelainan jemari, seumpama jari dempet. Sayangnya, meski bisa diketahui sejak masa janin, kelainan/gangguan tadi tak bisa ditangani selagi masih di rahim seperti halnya di negara-negara maju.

MINGGU KE-15

Panjang janin sekitar 10-11 cm dengan berat kira-kira 80 gram. Kehamilan makin terlihat, hingga demi kenyamanan si ibu maupun janinnya, amat dianjurkan mulai mengenakan baju hamil. Sebab, kulit dan otot-otot, terutama di sekitar perut akan melar karena mengalami peregangan luar biasa guna mengakomodasi pembesaran rahim. Garis-garis regangan yang disebut striae umumnya muncul di daerah perut, payudara, bokong dan panggul. Boleh-boleh saja memakai lotion/losion khusus sekadar untuk menyamarkannya karena memang tak mungkin hilang. Namun dianjurkan tak memakai krim jenis steroid semisal hidrokortison yang dikhawatirkan bakal terserap ke dalam sistem peredaran darah ibu dan bisa mengacaukan kerja hormonal.

MINGGU KE-16

Kini panjangnya mencapai taksiran 12 cm dengan berat kira-kira 100 gram. Refleks gerak bisa dirasakan ibu, meski masih amat sederhana yang biasanya terasa sebagai kedutan. Rambut halus di atas bibir atas dan alis mata juga tampak melengkapi lanugo yang memenuhi seluruh tubuhnya. Bahkan, jari-jemari kaki dan tangannya dilengkapi dengan sebentuk kuku. Tungkai kaki yang di awal pembentukannya muncul belakangan, kini lebih panjang daripada lengan.

Pada usia ini janin memproduksi alfafetoprotein, yaitu protein yang hanya dijumpai pada darah ibu hamil. Bila kadar protein ini berlebih bisa merupakan pertanda ada masalah serius pada janin, seperti spina bifida, yakni kelainan kongenital yang berkaitan dengan saraf tulang belakang. Sebaliknya, kadar alfafetoprotein yang rendah bersignifikasi dengan Sindrom Down. Sementara jumlah alfafetoprotein ini sendiri dapat diukur dengan pemeriksaan air ketuban/amniosentesis dengan menyuntikkan jarum khusus lewat dinding perut ibu.

Sistem pencernaan janin pun mulai menjalankan fungsinya. Dalam waktu 24 jam janin menelan air ketuban sekitar 450-500 ml. Hati yang berfungsi membentuk darah, melakukan metabolisme hemoglobin dan bilirubin, lalu mengubahnya jadi biliverdin yang disalurkan ke usus sebagai bahan sisa metabolisme. Bila terjadi asfiksia (gangguan oksigenasi) akan muncul rangsangan yang membuat gerak peristaltik usus janin meningkat sekaligus terbukanya sfingter ani (“klep” anus). Akibatnya, janin mengeluarkan mekoneum yang membuat air ketuban jadi kehijauan.

Di usia ini, janin juga mulai mampu mengenali dan mendengar suara-suara dari luar kantong ketuban. Termasuk detak jantung ibu bahkan suara-suara di luar diri si ibu, seperti suara gaduh atau teriakan maupun sapaan lembut.

MINGGU KE-17

Panjang tubuh janin meningkat lebih pesat ketimbang lebarnya, menjadi 13 cm dengan berat sekitar 120 gram, hingga bentuk rahim terlihat oval dan bukan membulat. Akibatnya, rahim terdorong dari rongga panggul mengarah ke rongga perut. Otomatis usus ibu terdorong nyaris mencapai daerah hati, hingga kerap terasa menusuk ulu hati. Pertumbuhan rahim yang pesat ini pun membuat ligamen-ligamen meregang, terutama bila ada gerakan mendadak. Rasa nyeri atau tak nyaman ini disebut nyeri ligamen rotundum. Oleh karena itu amat disarankan menjaga sikap tubuh dan tak melakukan gerakan-gerakan mendadak atau yang menimbulkan peregangan.

Lemak yang juga sering disebut jaringan adiposa mulai terbentuk di bawah kulit bayi yang semula sedemikian tipis pada minggu ini dan minggu-minggu berikutnya. Lemak ini berperan penting untuk menjaga kestabilan suhu dan metabolisme tubuh. Sementara pada beberapa ibu yang pernah hamil, gerakan bayi mulai bisa dirasakan di minggu ini. Kendati masih samar dan tak selalu bisa dirasakan setiap saat sepanjang hari. Sedangkan bila kehamilan tersebut merupakan kehamilan pertama, gerakan yang sama umumnya baru mulai bisa dirasakan pada minggu ke-20.

MINGGU KE-18

Taksiran panjang janin adalah 14 cm dengan berat sekitar 150 gram. Rahim dapat diraba tepat di bawah pusar, ukurannya kira-kira sebesar buah semangka. Pertumbuhan rahim ke depan akan mengubah keseimbangan tubuh ibu. Sementara peningkatan mobilitas persendian ikut mempengaruhi perubahaan postur tubuh sekaligus menyebabkan keluhan punggung. Keluhan ini makin bertambah bila kenaikan berat badan tak terkendali. Untuk mengatasinya, biasakan berbaring miring ke kiri, hindari berdiri terlalu lama dan mengangkat beban berat. Selain itu, sempatkan sesering mungkin mengistirahatkan kaki dengan mengangkat/mengganjalnya pakai bantal.

Mulai usia ini hubungan interaktif antara ibu dan janinnya kian terjalin erat. Tak mengherankan setiap kali si ibu gembira, sedih, lapar atau merasakan hal lain, janin pun merasakan hal sama.

MINGGU KE-19

Panjang janin diperkirakan 13-15 cm dengan taksiran berat 200 gram. Sistem saraf janin yang terbentuk di minggu ke-4, di minggu ini makin sempurna perkembangannya, yakni dengan diproduksi cairan serebrospinalis yang mestinya bersirkulasi di otak dan saraf tulang belakang tanpa hambatan. Nah, jika lubang yang ada tersumbat atau aliran cairan tersebut terhalang oleh penyebab apa pun, kemungkinan besar terjadi hidrosefalus/penumpukan cairan di otak. Jumlah cairan yang terakumulasi biasanya sekitar 500-1500 ml, namun bisa mencapai 5 liter! Penumpukan ini jelas berdampak fatal mengingat betapa banyak jumlah jaringan otak janin yang tertekan oleh cairan tadi.

MINGGU KE-20

Panjang janin mencapai kisaran 14-16 cm dengan berat sekitar 260 gram. Kulit yang menutupi tubuh janin mulai bisa dibedakan menjadi dua lapisan, yakni lapisan epidermis yang terletak di permukaan dan lapisan dermis yang merupakan lapisan dalam. Epidermis selanjutnya akan membentuk pola-pola tertentu pada ujung jari, telapak tangan maupun telapak kaki. Sedangkan lapisan dermis mengandung pembuluh-pembuluh darah kecil, saraf dan sejumlah besar lemak.

Seiring perkembangannya yang pesat, kebutuhan darah janin pun meningkat tajam. Agar anemia tak mengancam kehamilan, ibu harus mencukupi kebutuhannya akan asupan zat besi, baik lewat konsumsi makanan bergizi seimbang maupun suplemen yang dianjurkan dokter.

MINGGU KE-21

Beratnya sekitar 350 gram dengan panjang kira-kira 18 cm. Pada minggu ini, berbagai sistem organ tubuh mengalami pematangan fungsi dan perkembangan.

Dengan perut yang kian membuncit dan keseimbangan tubuh yang terganggu, bukan saatnya lagi melakukan olahraga kontak seperti basket yang kemungkinan terjatuhnya besar. Hindari pula olahraga peregangan ataupun yang bersikap kompetitif, semisal golf atau bahkan lomba lari.

MINGGU KE-22

Dengan berat mencapai taksiran 400-500 gram dan panjang sekitar 19 cm, si ibu kian mampu beradaptasi dengan kehamilannya. Kekhawatiran bakal terjadi keguguran juga sudah pupus. Tak heran bila ibu amat menikmatinya karena keluhan mual-muntah sudah berlalu dan kini nafsu makannya justru sedang menggebu, hingga ia mesti berhati-hati agar tak terjadi pertambahan berat badan yang berlebih.

Ciri khas usia kehamilan ini adalah substansi putih mirip pasta penutup kulit tubuh janin yang disebut vernix caseosa. Fungsinya melindungi kulit janin terhadap cairan ketuban maupun kelak saat berada di jalan lahir. Di usia ini pula kelopak mata mulai menjalankan fungsinya untuk melindungi mata dengan gerakan menutup dan membuka. Jantung janin yang terbentuk di minggu ke-5 pun mengalami “modifikasi” sedemikian rupa dan mulai menjalankan fungsinya memompa darah sebagai persiapannya kelak saat lahir ke dunia.

MINGGU KE-23

Tubuh janin tak lagi terlihat kelewat ringkih karena bertambah montok dengan berat hampir mencapai 550 gram dan panjang sekitar 20 cm. Kendati begitu, kulitnya masih tampak keriput karena kandungan lemak di bawah kulitnya tak sebanyak saat ia dilahirkan kelak. Namun wajah dan tubuhnya secara keseluruhan amat mirip dengan penampilannya sewaktu dilahirkan nanti. Hanya saja rambut lanugo yang menutup sekujur tubuhnya kadang berwarna lebih gelap di usia kehamilan ini.

MINGGU KE-24

Janin makin terlihat berisi dengan berat yang diperkirakan mencapai 600 gram dan panjang sekitar 21 cm. Rahim terletak sekitar 5 cm di atas pusar atau sekitar 24 cm di atas simfisis pubis/tulang kemaluan. Kelopak-kelopak matanya kian sempurna dilengkapi bulu mata.

Pendengarannya berfungsi penuh. Terbukti, janin mulai bereaksi dengan menggerakkan tubuhnya secara lembut jika mendengar irama musik yang disukainya. Begitu juga ia akan menunjukkan respon khas saat mendengar suara-suara bising atau teriakan yang tak disukainya.

MINGGU KE-25

Berat bayi kini mencapai sekitar 700 gram dengan panjang dari puncak kepala sampai bokong kira-kira 22 cm. Sementara jarak dari puncak rahim ke simfisis pubis sekitar 25 cm. Bila ada indikasi medis, umumnya akan dilakukan USG berseri seminggu 2 kali untuk melihat apakah perkembangan bayi terganggu atau tidak. Yang termasuk indikasi medis di antaranya hipertensi ataupun preeklampsia yang membuat pembuluh darah menguncup, hingga suplai nutrisi jadi terhambat. Akibatnya, terjadi IUGR (Intra Uterin Growth Retardation atau perkembangan janin terhambat). Begitu juga bila semula tidak ada, tiba-tiba muncul gangguan asma selama kehamilan.

Jika dari hasil pantauan ternyata tak terjadi perkembangan semestinya, akan dipertimbangkan untuk membesarkan janin di luar rahim dengan mengakhiri kehamilan. Tentu saja harus ada sejumlah syarat ketat yang mengikuti. Di antaranya, rumah sakit yang merawat bayi-bayi prematur haruslah rumah sakit bersalin khusus yang lengkap dengan ahli-ahli neonatologi (ahli anak yang mengkhususkan diri pada spesialisasi perawatan bayi baru lahir sampai usia 40 hari). Selain fasilitas NICU (neonatal intensive Care Unit).

MINGGU KE-26

Di usia ini berat bayi diperkirakan hampir mencapai 850 gram dengan panjang dari bokong dan puncak kepala sekitar 23 cm. Denyut jantung sudah jelas-jelas terdengar, normalnya 120-160 denyut per menit. Ketidaknormalan seputar denyut jantung harus dicermati karena bukan tak mungkin merupakan gejala ada keluhan serius.

Sementara rasa tak nyaman berupa keluhan nyeri pinggang, kram kaki dan sakit kepala akan lebih sering dirasakan si ibu. Begitu juga keluhan nyeri di bawah tulang rusuk dan perut bagian bawah, terutama saat bayi bergerak. Sebab, rahim jadi makin besar yang akan memberi tekanan pada semua organ tubuh. Termasuk usus kecil, kantung kemih dan rektum. Tak jarang ibu hamil jadi terkena sembelit, namun terpaksa bolak-balik ke kamar mandi karena beser.

MINGGU KE-27

Bayi kini beratnya melebihi 1000 gram. Panjang totalnya mencapai 34 cm dengan panjang bokong ke puncak kepala sekitar 24 cm. Di minggu ini kelopak mata mulai membuka. Sementara retina yang berada di bagian belakang mata, membentuk lapisan-lapisan yang berfungsi menerima cahaya dan informasi mengenai pencahayaan itu sekaligus meneruskannya ke otak.

Jika terjadi “kesalahan” pembentukan lapisan-lapisan inilah yang kelak memunculkan katarak kongenital/bawaan saat bayi dilahirkan. Lensa jadi berkabut atau keputihan. Walaupun dipicu oleh faktor genetik, katarak bawaan ini ditemukan pada anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang terserang rubella pada usia kehamilan di minggu-minggu akhir trimester dua.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Menyambut Si Kecil/edisi 171/13 Juli 2002

PERTUMBUHAN MENAKJUBKAN DI TRIMESTER PERTAMA

9 Mar


Meski masih hidup secara sel, semua cikal bakal organ penting janin terbentuk di trimester ini. Sayangnya, kurun waktu ini pun amat rawan terhadap kemungkinan terjadi kecacatan fatal.

Pembagian tahapan usia kehamilan menjadi 3 trimester, jelas dr. Judi Januadi Endjun, Sp.OG, Sonologist, pada dasarnya bertujuan membantu mengelompokkan waktu perkembangan. Sehingga mudah untuk mempelajari proses fisiologis pembentukan janin. Trimester pertama, contohnya, merupakan waktu pembentukan sekaligus perkembangan pesat dari semua sistem dan organ tubuh bayi. Di kurun waktu inilah dimulai keajaiban kuasa Sang Khalik: sebuah sel telur yang telah dibuahi berubah menjadi organisme yang secara anatomik memiliki wujud manusia.

MINGGU KE-1

Merupakan perkembangan awal sejak ovulasi sampai implantasi. Spermatozoa bergerak dengan cepat dari vagina ke rahim dan selanjutnya masuk ke saluran telur akibat kontraksi otot-otot rahim dan saluran telur. Dari sekitar 200-300 juta spermatozoa yang dipancarkan ke saluran kelamin wanita, tinggal 300-500 yang mencapai tempat pembuahan, meski nantinya hanya 1 yang dibutuhkan untuk pembuahan. Hanya sperma terbaik yang dapat membuahi sel telur.

Sekitar 80 jam sejak ovulasi, hasil konsepsi (pembuahan) ini berada di ampulla tuba fallopii, yakni bagian terluas pada saluran telur yang terletak dekat dengan rahim. Sintesa inti sel telur dan inti sel sperma inilah yang memungkinkan kromosom-kromosom dari masing-masing inti sel melebur, memadukan semua gen, ciri fisik, sifat, dan temperamen dari ayah-ibu pada bayi mereka.

Selanjutnya, hasil pembuahan ini melanjutkan perjalanannya menuju isthmus tuba (bagian saluran telur tersempit yang memanjang dan menciut antara pangkal saluran telur dan bagian pojok rahim/kornu uteri), sebelum memasuki rongga rahim dalam bentuk embrio.

Sekitar 30 jam setelah terbentuk, zigot kemudian membelah diri. Mula-mula menjadi 2 sel, selanjutnya membelah diri secara deret ukur tanpa henti dengan selang waktu antara 12 dan 15 jam. Sambil terus membelah, zigot yang terdiri dari 12-16 sel dan berbentuk mirip buah anggur yang disebut morula, bergerak menggelinding dari tuba falopii menuju rahim. Dibantu hormon yang dihasilkan oleh rahim, morula memantapkan implantasinya pada lapisan endometrium (desidua) di dalam dinding rahim.

Dari hari ke hari, sel-sel morula terus membelah dan berkembang jadi embrio. Sambil terus membelah sesuai pola deret ukur, sel-sel embrio menyusun diri membentuk tiga lapisan sel. Sel paling luar disebut ektoderm, yang tengah mesoderm, dan lapisan terdalam disebut endoderm. Ketiga kelompok sel inilah yang membentuk seluruh tubuh embrio beserta organ pelengkapnya.

MINGGU KE-2

Di minggu ini, embrio diperkirakan berukuran 0,1-0,2 mm. Sementara hCG (human Chorionic Gonadotropin yang sering disebut hormon kehamilan) baru dapat dideteksi dalam darah ibu pada hari ke-10 atau 11 setelah pembuahan, meski sebelumnya sudah dapat dideteksi lewat media kultur. Karena itulah, kendati sebetulnya sudah dalam keadaan hamil, bila tes urin dilakukan sebelum hari ke-10 sejak terlambat haid, bisa saja hasilnya negatif. Jadi, untuk memastikan kehamilan, pemeriksaan serupa harus diulang beberapa hari kemudian.

MINGGU KE-3

Pada hari ke-15 sampai ke-17, embrio diperkirakan berukuran 0,4 mm. Hanya dalam hitungan hari, yakni pada hari ke-17 sampai ke-19, ukurannya meningkat jadi sekitar 1,0-1,5 mm.

Di minggu ini, cikal-bakal sistem pembuluh darah dan sistem saraf mulai terbentuk. Bahkan, di hari-hari terakhir saat cikal-bakal jantung janin mulai terbentuk, ukuran embrio sudah mencapai 1,5-2,5 mm. Pembentukan mata pun mulai terjadi, meski rongga mata baru akan tampak jelas di minggu ke-6. Secara keseluruhan, pada minggu ini sudah terdapat materi genetik, termasuk warna rambut, bentuk mata, dan intelegensi si calon bayi.

Di kedua sisi tubuh embrio tumbuh suatu tonjolan kecil berupa sekelompok sel yang merupakan cikal-bakal tangan. Selang beberapa hari kemudian, saat tunas tangan memipih, pada kedua sisi tubuh sebelah bawah muncul tonjolan serupa yang merupakan cikal-bakal kaki. Beberapa jenis obat antimual dan obat tidur, di antaranya thalidomide (semacam obat penenang) yang dikonsumsi di awal-awal kehamilan, terbukti menyebabkan kecacatan pada tangan dan kaki. Semisal berupa tonjolan daging lantaran tak mencapai panjang dan bentuk anggota tubuh yang semestinya.

Demikian juga streptomisin dalam pengobatan TBC yang bisa menimbulkan gangguan pada telinga. Atau kloramfenikol yang bisa membuat sumsum tulang janin rusak, hingga bayi yang dilahirkan akan mengalami kelainan darah dan kelainan kulit yang dikenal sebagai grey syndrome. Jamu-jamuan dan dan obat-obat penyubur yang tak terkontrol, juga bisa berdampak buruk. Yang mengandung DES (dietil bestrol), misal, ternyata berpeluang menimbulkan kelainan pada alat kelamin bawah. Mulai tak terbentuknya lubang vagina sampai kemungkinan si anak terkena kanker vagina kelak saat ia besar.

MINGGU KE-4

Dengan ukuran sekitar 2 hingga 3,5 mm, jantung mulai berdenyut dan sistem peredaran darah sudah melaksanakan fungsinya meski masih dalam taraf yang sangat sederhana. Cikal-bakal otak sudah bisa dibedakan menjadi tiga bagian utama (prosensefalon, mesensefalon, dan rombensefalon) yang kelak akan menjalankan fungsi masing-masing. Malnutrisi pada ibu hamil akan merusak perkembangan otak janin.

Pada minggu ini pula saraf-saraf spinal yang kelak menjadi cikal-bakal tulang belakang sudah mengalami penebalan. Sementara cikal-bakal telinga sudah terlihat meski masih berupa gelembung. Plasenta atau yang biasa disebut ari-ari juga terbentuk pada minggu ini. Fungsinya bagi janin sangat banyak. Dari menyediakan hormon-hormon yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan proses pembedaan sesuai jenis kelamin janin, sampai mensuplai nutrisi dan oksigen. Di samping itu, ia juga berfungsi sebagai alat pernapasan dan pembuangan sisa-sisa metabolisme janin.

MINGGU KE-5

Di minggu ini embrio diperkirakan berukuran antara 5-7 mm. Pembentukan telinga makin sempurna dengan terbentuknya duktus endolimfatikus, yakni saluran untuk menyalurkan cairan yang terdapat dalam selaput labirin telinga dalam. Demikian pula sistem pencernaan makin sempurna dengan terjadi pembedaan yang kian nyata antara cikal-bakal usus besar dan usus buntu. Bahkan cikal-bakal ginjal dan hati pun sudah terbentuk. Begitu juga struktur muka secara keseluruhan mulai bisa “terbaca”.

MINGGU KE-6

Saat ini embrio diperkirakan berukuran sekitar 7-9 mm, pembuluh-pembuluh nadi di bagian kepala kian jelas terbagi-bagi menurut tugas masing-masing. Di minggu ini rongga mulut sudah tampak. Begitu juga struktur mata sudah terbentuk meski masih berjauhan letaknya. Di tengah-tengah wajah muncul tonjolan hidung. Ruas-ruas tulang belakang sudah terbentuk meski masih terlihat samar. Organ tubuh lain yang juga mulai berkembang di usia kehamilan ini adalah pembungkus saraf, penciuman, kandung kemih, jari-jemari, bahkan otot-otot punggung.

Kekurangan asam folat atau anemia akut bisa mengakibatkan janin mengalami fetal neural tube defect (gangguan tabung saraf) dengan tak terbentuknya sebagian tulang belakang janin sampai kepala dan otak janin.

MINGGU KE-7

Di minggu ini embrio diperkirakan berukuran sekitar 11-17 mm. Pembesaran kepala relatif stabil, sementara tubuhnya yang menyerupai bentuk kubus mengalami pemanjangan meski masih membungkuk seperti udang. Bagian ujung yang semula terlihat seperti ekor kecebong menghilang akibat nekrosis atau kematian jaringan secara fisiologis. Ujung hidung dan tonjolan telinga tampak jelas membentuk cikal-bakal daun telinga yang sesungguhnya. Kendati kelopak mata masih terlihat samar.

Tunas-tunas lengan sudah menyiku, sementara jari-jari tangan pun sudah mengarah terpisah satu sama lain. Sedangkan pemisahan jemari kakinya samar terlihat, meski telapak kakinya masih rata. Tunas tangan yang lebih cepat tumbuh ketimbang tunas kaki inilah yang agaknya bisa menjawab pertanyaan mengapa bayi kelak lebih dulu belajar memegang benda-benda di sekitarnya ketimbang belajar berjalan.

Sistem saraf pusat, pembuluh-pembuluh nadi, dan saluran usus makin berkembang. Di minggu ini pula proses penulangan tubuh dimulai. Sedangkan batas-batas antara cikal-bakal lengkung ruas tulang belakang dan ruas-ruas tulang iga baru tampak sebagai alur-alur memanjang. Begitu juga persendian pada bahu, panggul, dan lutut mulai kelihatan.

MINGGU KE-8

Pada akhir masa embrional ini, ukuran embrio mencapai kisaran 27-31 mm. Kepalanya membulat dan wajah polos kekanak-kanakan mulai tampak nyata dengan tertariknya bagian antara dahi dan pangkal hidung ke arah dalam, hingga kian memperjelas cikal-bakal kemancungan hidung si janin.

Langit-langit mulut mulai terbentuk, begitu juga kelopak mata serta daun telinga luar. Secara keseluruhan makin menyerupai bayi dengan taksiran berat sekitar 5 gram. Meski masih lemah, permulaan dari rangka tubuh secara keseluruhan sudah rampung dan lengkap terbentuk dalam minggu ini.

Semua organ tubuh juga mulai bekerja, meski belum sempurna. Semisal otak yang mulai mengirim sinyal/perintah ke organ-organ tubuh atau hati yang mulai memproduksi sel-sel darah. Tubuh yang ringkih ini pun mulai bisa bergerak secara tak teratur, yang jika dijumlahkan rata-rata sebanyak 60 kali gerakan dalam sejam.

MINGGU KE-9

Bila jenis kelaminnya laki-laki, di usia ini sudah bisa jelas dipastikan. Sementara perempuan masih sesekali meragukan. Aktivitas menelan janin, rata-rata sebanyak 25 kali dalam satu jam. Tangan janin pun mulai bergerak bebas. Dalam arti, tak lagi tergantung pada gerakan tubuh.

Sebentuk kuku pada setiap jari tangan dan kakinya muncul di minggu ini. Panjangnya menjadi sekitar 10 cm dengan berat 20 gram. Dalam minggu ini pula pembentukan kulit dan fungsinya berkembang menuju penyempurnaan.

MINGGU KE-10

Pada beberapa janin, aktivitas menelan dan menggerakkan tangannya secara bebas baru dimulai minggu ini. Jenis kelamin perempuan bisa diidentifikasikan secara jelas di minggu ini. Sistem otot dan saraf sudah mencapai tingkat kematangan. Selain telah mampu pula mengirim dan menerima pesan dari otak. Dengan mulai berfungsinya sistem saraf, janin sudah mampu melakukan gerak refleks. Bahkan kaki sudah mampu melakukan gerakan menendang, misal.

MINGGU KE-11

Panjang tubuhnya mencapai sekitar 6,5 cm. Baik rambut, kuku jari tangan dan kakinya mulai tumbuh. Sesekali di usia ini janin sudah menguap.

Gerakan demi gerakan kaki dan tangan, termasuk gerakan menggeliat, meluruskan tubuh dan menundukkan kepala, sudah bisa dirasakan ibu. Bahkan, janin kini sudah bisa mengubah posisinya dengan berputar, memanjang, bergelung, atau malah jumpalitan yang kerap terasa menyakitkan sekaligus memberi sensasi kebahagiaan tersendiri.

MINGGU KE-12

Struktur yang telah terbentuk akan terus bertumbuh dan berkembang kian sempurna. Di usia ini umumnya ibu bisa mendengar denyut jantung bayinya, dengan memakai alat khusus yang disebut fetal dophtone.

Di minggu ini sistem rangka tubuh memiliki pusat pembentukan tulang/osifikasi pada sebagian besar tulang. Sistem pencernaan mampu menghasilkan kontraksi untuk mendorong makanan ke seluruh usus dan mampu menyerap glukosa secara aktif.

Bila diinginkan, di minggu ini pun bisa diagnosa penyakit keturunan semisal thalassemia dan sindroma Down, yang bisa dilakukan lewat pemeriksaan Chorion Villus (CVS) guna memastikan ada-tidak kerusakan pada kromosom. Caranya dengan mengambil sampel sel-sel plasenta yang bisa dilakukan secara transabdominal melalui perut atau leher rahim/transervikal.

Kelainan kromosom dapat terjadi karena ada kelainan kromosom pada orang tua. Atau akibat pengaruh virus, bakteri, penyakit maupun zat berbahaya lain yang menyerang sel-sel embrio.

Th. Puspayanti/tabloid nakita/Rubrik Menyambut Si Kecil/edisi 170/6 Juli 2002